Selasa (8/7) Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH menghadiri acara Rapat Paripurna Dewan ke-31 di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain Menkes, hadir pula beberapa Menteri terkait, seperti Menteri Sosial; Salim Segaf Al Jufrie, Menteri Dalam Negeri; Gamawan Fauzi, Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri dan Menteri Hukum dan HAM; Amir Syamsyudin. Salah satu agenda rapat adalah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa yang selama ini tertunda pembahasannya.
Pimpinan Komisi IX DPR RI, Budi Supriyanto, SH, MH menyampaikan laporan proses pembahasan terhadap RUU Kesehatan Jiwa yang masuk dalam RUU Prioritas tahun 2013. Disampaikan, masing-masing fraksi dari sembilan fraksi yang ada telah menyatakan setuju terhadap naskah RUU Kesehatan Jiwa. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Kesehatan Jiwa, maka upaya kesehatan jiwa dapat ditingkatkan mutunya dengan berasaskan keadilan, perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komperehensif, perlindungan dan non diskriminasi.
Selain itu, dengan UU Kesehatan Jiwa, diharapkan dapat memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komperehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi setiap orang terutama ODMK dan ODGJ serta meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam laporannya, Menkes, Nafsiah Mboi mengatakan RUU ini merupakan hasil kerjasama antara pemerintah, Anggota Dewan dan banyak pihak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, pada penduduk di atas usia 50 tahun dijumpai prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa Ringan (ODGJR) berjumlah 6% atau sekitar 16 juta orang. Sedangkan prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (ODGJB) 1,72 per seribu atau sekitar 400 ribu orang, 14,3% atau sekitar 57 ribu orang dengan Gangguan Jiwa Berat pernah dipasung oleh keluarga.
Akses Orang dengan Gangguan Jiwa ke fasilitas pelayanan kesehatan masih perlu ditingkatkan. Perlakuan diskriminatif terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa juga masih cukup tinggi serta upaya kesehatan jiwa saat ini, dilaksanakan baru sebatas pengobatan dan rehabilitasi dan belum banyak menjangkau upaya preventif dan promotif. Untuk itulah, dibutuhkan aturan yang komperehensif yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak Orang dengan Gangguan Jiwa dan orang dengan masalah kesehatan jiwa.
“Untuk akses pelayanan kesehatan Orang dengan Gangguan Jiwa, saat ini makin mudah. Diagnosa dapat dikenali sedini mungkin, karena dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan Jiwa ini, maka keluarga yang tadinya merasa hal ini merupakan aib dapat langsung melaporkan ke kepala desa, kelurahan dan akan langsung diperiksa serta ditangani oleh Dinas Kesehatan setempat,” jelas Menkes.
Pemerintah berharap Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang akan ditetapkan nantinya dapat menjamin bahwa setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Di akhir laporannya, Menkes menyampaikan bahwa pemerintah setuju untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa ini menjadi Undang-Undang.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan email kontak@depkes.go.id.