Jakarta, 16 September 2015
Selasa pagi, (15/09) Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K) secara resmi membuka Simposium Internasional ke-2 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Jakarta. Pertemuan yang berlangsung dua hari tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi terkini seputar penelitian dan pembangunan kesehatan yang terkait dengan deteksi, pencegahan dan pegobatan (vaksin, obat – obatan, dan peralatan medis). Selain simposium ini dapat dimanfaatkan sebagai forum komunikasi antara “produsen riset” dan “konsumen riset”.
Tahun ini Simposium mengangkat tema “Basic Research and Innovation Breakthrough into Product”, dengan sub tema: (1) Penelitian dan Pengembangan Vaksin (HIV, Hepatitis B, TB, dll), (2) Penemuan Obat (Anti Malaria, Pengobatan Alternatif, Saintifikasi Jamu), (3) Obat Biosimilar (Sel Punca, Eritropoietin) dan (4) Peralatan Medis (Non Invasive Diagnostic, Invasive Diagnostic)
Dalam pidatonya Menkes menyampaikan, untuk mendapatkan produk informasi dan inovasi yang valid dan terpercaya, sebelumnya harus melalui penelitian dan pengembangan kesehatan yang terjaga mutunya secara ilmiah maupun secara etik. Produk informasi dan inovasi tersebut, juga sangat berguna dalam rangka pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence based policy).
Beberapa penyakit telah diamanahkan secara global untuk dikendalikan, seperti TB, Malaria, HIV dalam Millenium Development Goal Post 2015. Di Indonesia pada tahun 2013 telah teridentifikasi 23 penyakit yang berpotensi wabah yang di dalam daftar tersebut terdapat juga penyakit yang harus ditangani dalam MDG’s post 2015.
“Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian untuk meneliti dan mengembangkan produk untuk deteksi (diagnostik), pencegahan (vaksin), penyembuhan (obat), dan alat kesehatan untuk mengatasi penyakit tersebut” imbuh Menkes.
Agar hasil penelitian berdaya guna dan berhasil guna, Menkes mengatakan kolaborasi antara penghasil (dalam hal ini adalah para peneliti) dan pengguna (dalam hal ini untuk industri, pemegang program, pelaku pelayanan kesehatan) sangat krusial. Kolaborasi ini bisa dilakukan mulai tahap penetapan agenda riset dan penyusunan protokol penelitian.
“Dengan kolaborasi antara penghasil dan pengguna, kita berharap hasil-hasil penelitian akan lebih banyak dapat dimanfaatkan. Kemenkes bersama seluruh lintas sektor terkait, melibatkan akademisi, pemerintah baik, Pusat maupun Daerah, industri dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemandirian bangsa”, ujarnya.
Sejak tahun 2012, Indonesia telah memulai pendekatan penelitian dan pengembangan produk dilakukan dalam bentuk Konsorsium Riset yang melibatkan akademisi, institusi penelitian milik pemerintah, dan industri untuk mempercepat mendapatkan hasil dengan efisien.
Salah satu contohnya adalah pengembangan bahan baku obat malaria Artemisinin dari tanaman Artemisia annua yang didahului dengan penelitian Riset Tanaman Obat dan Jamu. Untuk sekitar 2 juta kasus Malaria di Indonesia, diperlukan obat Artemisinin sebanyak 900 kg yang dihasilkan dari 450 ton simplisia kering dan diperoleh dari 100 hektar tanaman Artemisia annua.
Dewasa ini obat Artemisinin untuk pengendalian Malaria di Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Karenanya, Kemenkes tengah lakukan terobosan untuk mewujudkan kemandirian penyediaan Artemisinin.
Mengakhiri sambutannya Menkes berharap agar para peneliti dapat meningkatkan perhatian mereka dan peka terhadap berbagai permasalahan pada masyarakat untuk dicarikan solusinya. Kebijakan kesehatan yang dilaksanakan haruslah berbasis bukti dan berbasis hasil penelitian.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.