Hukuman kebiri bisa diartikan menjadi dua tindakan, yakni berupa pemotongan atau berupa suntikan zak kimia atau dikenal dengan istilah kebiri kimia. Kebiri kimia adalah tindakan memasukkan bahan kimiawi antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak kejatahan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosterone.
Berkaitan dengan hal tersbeut, Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Nila Farid Moeleok, Sp.M(K) menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan perlu menjelaskan side effect dari hukuman kebiri, berdasarkan masukan dari para pakar atau ahli andrology dan ahli kejiwaan.
“Tindakan mengganggu hormon seseorang dengan maksud mengurangi libido, apapun tindakan ini ada side effectnya ini yang harus kita pertimbangkan. Kita tidak bisa terlalu emosional istilahnya barangkali demikian”, tutur Menkes, saat doorstop dengan media usai menghadiri Rapat Koordinasi Tingkat Menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, di Kantor Kemenko PMK di Kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta (10/5).
Rakor yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona. H. Laoly tersebut membahas Amandemen Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Amandemen tersebut menambahkan substansi Penambahan Hukuman bagi Pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hasil keputusan Rakor tersebut adalah Kementerian dan Lembaga telah bersepakat untuk mengajukan pemberatan hukuman pidana maksimal kepada pelaku pemerkosaan dan pencabulan. Kepada pelaku juga akan dikenakan sanksi berupa publikasi identitas kepada publik bahwa yang bersangkutan telah melakukan kejahatan di luar nilai kemanusiaan. Kemudian, setelah mendapatkan pemberatan hukuman, tetap akan diberikan pendampingan rehabilitasi selama masa hukuman. Sementara hal lain yang belum dapat diputuskan seperti hukuman kebiri kimia, akan dibawa pada Rapat Terbatas bersama Presiden pada kesempatan mendatang.
“Kita harus pertimbangkan dengan bijak, tidak boleh sampai melanggar HAM, itu dia. Kami meminta untuk didengar dari sisi kesehatan dan kedokteran”, tandas Menkes.
Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, Sp.KJ(K) menerangkan bahwa efek samping dari obat yang digunakan pada tindakan kebiri kimia akan mempengaruhi banyak sekali sistem tubuhnya.
“Diantaranya akan mempengaruhi fungsi hormon sekunder laki-lakinya akan jadi hilang. Dia akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos. Itu kan membunuh juga kan namanya”, terang dr. Eka Viora.
Menanggapi pertanyaan media bahwa hukuman kebiri bermanfaat untuk menakuti pelaku agar muncul efek jera, dr. Eka Viora menilai bahwa itu bukan hal yang tepat. Menurutnya sanksi pidana dan sanksi sosial cukup untuk memunculkan efek jera. Yang utama adalah pendampingan pada masa hukuman, agar pelaku menyadari kesalahannya, menyesali, dan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
“Tidak perlu ditakut-takuti dengan cara itu, seumur hidup kan bisa. Kita akan damping dia”, tandasnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].