Hari ini, saat membolak balik majalah Kartini, saya menemukan liputan mengenai kunjungan Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih. Selama setahun terakhir ini saya selalu berhubungan dengan ibu menteri Endang. Saya segera mencari orang untuk membantu menterjemahkan artikel tersebut dan mendengarkannya dengan seksama.
Artikel liputan tersebut menimbulkan sejumlah kenangan. Ibu menteri Endang bulan November 2010 lalu dirawat di Fuda Cancer Hospital,Guangzhou. Dan sembuh setelah dirawat selama setengah tahun lebih. Saat ini kondisi kesehatan ibu menteri amat baik.
Seperti yang diulas majalah tersebut, ibu menteri merupakan seorang wanita yang tabah. Beliau lulus dari Harvard School of Public Health, As di usia yang muda. Sebelum menjabat menteri, dia adalah peneliti penyakit menular di Depkes.
Dia mengatakan “Nasib menentukan saya sebagai penderita kanker bahkan stadium lanjut. Waktu menjadi sangat berharga buat saya sebab apa yang bisa saya terima tidak banyak lagi. Saya dan suami mempertimbangkan banyak alternatif pengobatan dan kemana saya berobat. Ditambah saran dari teman seprofesi, akhirnya kami memutuskan datang ke Rumah Sakit Fuda Guangzhou bersama Prof. Xu Kecheng dan team pengobatannya.”
Pebruari 2011, buku terbaru saya “Saya Bicara Jujur Kepada Penderita Kanker” edisi bahasa Indonesia diluncurkan di Indonesia. Ibu menteri menuliskan kata pengantar pada buku tersebut. Dan menjelaskan isi hatinya selama berobat di rumah sakit saya Fuda Cancer Hospital,Guangzhou. Dalam kata pengantar tersebut ibu menteri juga menyinggung bahwa dia “mempelajari banyak hal” dari rumah sakit saya.
Namun, sesungguhnya sayalah yang mempelajari banyak hal dari ibu menteri. Saya belajar dari ketabahannya. Menghadapi kanker, beliau tidaklah berputus asa. Sebaliknya dia malah lebih giat bekerja dan bersemangat menghadapi hidup.
Menurut yang saya tahu, setelah menderita kanker ibu menteri tak pernah sekalipun meninggalkan tugasnya. Bulan lalu, dia menghadiri konferensi WHO di Jenewa, Swiss. Lalu mengikuti rapat di Boston, AS. Dari AS, ibu menteri langsung bertolak menuju Fuda Cancer Hospital,Guangzhou untuk menjalani pengobatan.
Dua hari kemudian, ibu menteri yang baru saja menjalani pengobatan langsung terbang kembali ke Indonesia untuk kembali bertugas. Selama setengah tahun menjalani pengobatan agar tak mempengaruhi kinerjanya dia sering naik pesawat ke bandara Guangzhou. Setelah melakukan pemeriksaan darah, dia segera meninggalkan bandara. Dia tak ingin karena kondisi sakitnya maka dapat mempengaruhi tugasnya sehari-hari.
Selama 40 tahun bergelut di dunia medis, belum pernah saya menyaksikan seorang pejabat, yang juga menderita penyakit berat seolah melupakan kematian dan bekerja tanpa kenal lelah.
Selama berhubungan dengan ibu menteri, saya amat terharu dengan ketabahannya. Jika orang kebanyakan begitu divonis menderita kanker maka akan kehilangan semangat. Bahkan gelisah berkepanjangan, kehidupan saat seolah berada dalam kegelapan.
Namun ibu menteri setelah mengetahui dirinya menderita kanker paru-paru malah giat menghadapi penyakitnya. Juga aktif mencari pengobatan yang tepat. Dalam wawancara tersebut beliau mengatakan setiap orang memiliki kemungkinan terkena kanker. Maka jangan mengeluh pada Tuhan; atau berfikir telah berbuat kesalahan apa sehingga menderita penyakit semacam ini.
Setelah divonis menderita kanker, ibu menteri sama seperti penderita kanker lainnya juga terpukul baik secara fisik maupun mental. Namun dia tidak menjadi penakut. Dia tetap bersemangat baik dalam kehidupan maupun pekerjaannya.
Setiap orang jika tengah beruntung maka tak dapat membedakan berbagai macam rasa. Namun begitu keberuntungan tersebut pergi, mulailah bagai diterjang ombak besar. Bahkan seperti dihempaskan oleh sebuah kipas raksasa. Mereka yang lemah terhempas tak tersisa dan hanya mereka yang tabah dan kuat yang tak dapat terhempas.
Maka jika penyakit diibaratkan sebuah kipas raksasa yang menghembuskan angin topan maka ibu menteri adalah orang yang pantang menyerah. Saya terkadang berpikir, beliau bekerja demikian kerasnya masak sih tidak memikirkan kesehatannya sendiri?
Saya menemukan jawabannya dari seorang filsuf besar China Mengzi. Dia berkata “Hidup adalah kemauan pribadi. Loyalitas pun juga kemauan pribadi. Jika harus memilih diantaranya maka saya lebih memilih loyalitas daripada kehidupan.”
Ibu menteri bekerja demikian juga merupakan idealisme dan keyakinannya. Dia berpikir harus melaksanakan tugas kesehatan dengan sebaik-baiknya. Agar rakyat Indonesia menjadi sejahtera. Maka barulah dapat tercapai keadilan. Tak menghiraukan keselamatan diri sendiri dan bekerja dengan giat.
Saya juga belajar dari kerendahan hati beliau. Selama menjalani perawatan di rumah sakit saya, beliau bersikap ramah terhadap para perawat. Bahkan berbincang dengan akrab bersama mereka. Kadakalanya sambil bersenda gurau. Beliau juga menyatakan terima kasih atas pelayanan petugas medis. Bahkan dengan orang yang perhatian terhadap dirinya dia selalu mengatakan “Fine, Thank you.”
Ibu menteri merupakan doktor lulusan universitas ternama. Namun terhadap pengobatan yang diterimanya dia menjalaninya tanpa keraguan. Kerendahan hati semacam ini adalah bakat alam. Yang membuat setiap orang yang berada di sekelilingnya merasakan keramahan dan kehangatan beliau.
Saya juga merasakan kasih universalnya. Ketika pertama kali berbincang dengan ibu menteri, beliau berharap dapat memperoleh pengobatan efektif dari rumah sakit saya. Dia mengatakan, pengobatan kanker paru saya bukan hanya ditujukan bagi saya dan keluarga. Saya berharap dapat hidup lebih lama karena saya memiliki sebuah mimpi.
Saya berharap dalam jangka waktu lima tahun, warga desa di seluruh Indonesia dapat menikmati layanan pengobatan mendasar. Saya amat berharap disisa hidup saya ini dapat merealisasikan target tersebut. Mendengar penjelasan beliau, saya amat kagum. Meskipun sedang mengidap penyakit, namun tidak mengubah sikap kasih universalnya. Bertekad mensejahterakan rakyat sungguh sikap yang patut dipuji.
Ibu menteri adalah seorang yang besar. Tujuan hidupnya untuk mencapai taraf kemanusiaan yang tertinggi. Tak sembarang orang dapat seperti ini. Indonesia memiliki seorang wanita yang besar. Sebagai orang asing saya amat menghormatinya.
Kita manusia hanyalah seorang tamu yang melintasi jalan. Saya juga seorang pasien kanker. Sama seperti ibu menteri. Saya harus belajar dari beliau dan menangkap nilai-nilai hidupnya. Sehingga kehidupan saya lebih ceria.
Adakalanya terpikir, kita lahir ke dunia untuk itu harus menghargai berharganya kehidupan. Hidup lebih sulit dari kematian. Kematian hanya membutuhkan keberanian sesaat. Sedangkan kehidupan membutuhkan kerja keras dan keberanian sepanjang hidup.
Seperti yang dikatakan Martin Luther King : “We must accept finited disappointment, but we must never lose infinite hope”. Ketabahan dan kasih universal ibu menteri tentu saja membuta kehidupannya lebih indah. Ayo ibu menteri!
Xu Kecheng – Fuda Cancer Hospital,Guangzhou.
Idn/din/koran 9 Jul A7