Schistosomiasis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh cacing Schistosoma dan dibawa oleh keong Oncomelania. Berlatar belakang hal itulah, penyakit ini sering kali disebut sebagai demam keong. Saat ini, Schistosomiasis masih ada di Indonesia. Penyakit ini hanya dijumpai di 28 desa di Sulawesi Tengah, yaitu di 5 desa di Kabupaten Sigi dan 23 desa di Kabupaten Poso. Jumlah penduduk di kawasan tersebut ini berkisar antara 30.639 orang.
“Dengan fakta tersebut, Indonesia menjadi satu-satunya negara di wilayah SEARO yang masih memiliki masalah Scistosomiasis,” ujar Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), pada pertemuan Bakohumas yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Kominfo, serta praktisi humas dari Kementerian dan Lembaga di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (25/10). Senada dnegan hal tersebut, pada saat yang sama pula tengah dilaksanakan Pertemuan Lintas Sektor Eliminasi Penyakit Demam Keong (Schistosomiasis) Melalui Pengendalian Lingkungan Terpadu di Hotel Crown Plaza, Jakarta.
Penularan Schistosomiasis terjadi dengan cara Larva cacing Schistosoma menembus kulit dan masuk ke dalam tubuh manusia dan menjadi tumbuh menjadi dewasa, bertelur lalu telurnya keluar bersama tinja. Jika penderita schistosoma buang air besar sembarangan maka telur schistosoma akan tersebar di tanah dan lingkungan menetas menjadi larva dan masuk ke dalam tubuh keong oncomelania. Di dalam tubuh keong oncomelania, larva tersebut berkembang menjadi larva dewasa lalu keluar ke lingkungan dan dapat menulari manusia selain dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Larva juga dapat masuk ke dalam tubuh hewan mamalia seperti sapi, kerbau, kuda, dan anjing. Hewan-hewan ini dapat menjadi sumber penularan dengan menyebarkan telur schistosoma melalui tinjanya.
“Keong Oncomelania itu kecil sekali, ada di sekitar Danau Lindu. Setiap kali hujan dari hutan turun masuk ke masyarakat. Kalau masyarakat sampai kena, risiko kematian bisa jadi kenyataan”, terang Menkes.
Kementerian Kesehatan telah berupaya keras menurunkan angka kesakitan bahkan kematian di manusia akibat Scistosomiasis. Pencegahan dan pengendalian Schistosomiasis di Indonesia dimulai pada tahun 1981 dan berlanjut sampai sekarang. Upaya dimulai di Lindu (1981) diperluas ke Napu (1982) dan Besoa (1987). Upaya yang dilakukan oleh sektor kesehatan diantaranya: Promosi kesehatan agar masyarakat menghentikan kebiasaan buang air besar sembarangan; Pengobatan penderita Schistosomiasis Surveilans Schistosomiasis pada manusia, keong Oncomelania, dan tikus; dan perubahan lingkungan untuk pemberantasan keong Oncomelania. Prevalensi Schistosomiasis pada manusia berhasil diturunkan dari 5,9% tahun 1989 menjadi 1,2% tahun 2016.
“Kemenkes sudah bekerja, prevalensi di manusia berhasil turun. Tapi siklus itu kan berjalan terus. Cacing itu bisa masuk ke tikus, bahkan binatang ternak,” kata Menkes.
Menkes menegaskan bahwa Kementerian Kesehatan membutuhkan bantuan peran lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan, misalnya: intervensi terhadap hewan tikus, semenisasi saluran irigasi agar kering dan aliran airnya lancar sehingga keong tidak menempel di daerah basah tersebut, serta upaya pemberdayaan masyarakat baik melalui Posyandu, UKS, bahkan ke tingkat aparat desa setempat.
“Janganlah memandang masalah kesehatan hanya dari sudut pandang kesehatan saja. Tidak mungkin Kementerian Kesehatan mampu berdiri hanya sendiri,” ujar Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021)5223002, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.