Bandung, 5 Februari 2017
Minggu pagi (5/2), setiap 60 detik, 1 orang anak di seluruh dunia menjadi buta padahal 80% dari penyebab kebutaan pada anak ini sebenarnya bisa dicegah melalui pemeriksaan dan tindakan segera. Karena itu, deteksi dini white pupil (pupil putih) menjadi hal yang sangat penting dalam pencegahan kebutaan pada anak.
Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), saat menghadiri pencanangan Kampanye Pupil Putih atau White Pupil Campaign yang bertepatan dengan momen peringatan Hari Ulang Tahun ke-10a8 RS Pusat Mata Nasional Cicendo di Bandung yang jatuh pada 3 Januari 2017. Hadir pula dalam kegiatan ini, Gubernur Provinsi Jawa Barat, Achmad Heryawan.
“Mata itu adalah indera yang utama”, tutur Menkes.
Gangguan penglihatan apalagi kebutaan pada anak menimbulkan dampak yang sangat besar pada kehidupan dan masa depan anak itu sendiri
“Gangguan ketajaman mata atau gangguan refraksi banyak dialami anak-anak bisa mengganggu prestasi belajar mereka”, ujar Menkes.
Menkes menambahkan, melalui kampanye pupil putih ini diharapkan masyarakat lebih mengetahui, menyadari sehingga mampu melakukan deteksi dini adanya katarak, bahkan retinoblastoma di dalam mata seorang anak. Retinoblastoma merupakan tumor ganas mata yang sering terjadi pada anak. Leukocoria (pupil putih) atau seperti “mata kucing” merupakan tanda klinis awal yang tersering ditemukan oleh orang tua atau orang-orang di sekitar pasien. Insidensi retinoblastoma berkisar 1:16.000 dan 1:18.000 kelahiran hidup.
“Terlihat warna putih pada pupil matanya, seperti mata kucing. Lebih jelas bila pada kondisi ruangan redup/gelap atau pada saat terkena flash lampu kamera” tutur Menkes.
Menurut Menkes, white pupil ini merupakan tanda bahaya. Bukan hanya dapat mengancam penglihatan namun juga mengancam kehidupan (nyawa) seseorang.
“Pendekatan keluarga dalam deteksi dini ini sangat penting. Jika ditemukan tanda white pupil ini atau gangguan penglihatan lainnya, segera periksakan anggota keluarga ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk dilakukan tindakan guna menghindarkan dari risiko kebutaan”, imbuh Menkes.
Katarak Penyebab Sebagian Besar Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
Katarak ditengarai menjadi penyebab sebagian besar gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia, termasuk di Indonesia. Mengutip hasil survei kebutaan di Indonesia yang dikembangkan oleh International Center of Eye Health (ICEH) dan direkomendasikan oleh WHO melalui metode Rapid Assasment of Avoidable Cataract (RAAB), yang memberikan gambaran situasi aktual dan data akurat prevalensi kebutaan serta gangguan penglihatan. Survei yang dilakukan di 15 Propinsi Indonesia pada populasi usia ≥ 50 tahun, mendapatkan angka prevalensi kebutaan tertinggi sebesar 4,4,% (Jawa Timur) dan terendah sebesar 1,4% (Sumatera Barat), yang mana sebanyak 64-95% disebabkan oleh katarak.
“Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan pancaran sinar ultraviolet (UV) lebih banyak, sehingga memengaruhi daya tangkap mata”, kata Menkes.
Diperkirakan setiap tahun kasus baru buta katarak akan selalu bertambah sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau kira-kira 250.000 orang/tahun. Oleh sebab itu, percepatan penanggulangan buta akibat katarak yang paling tepat adalah dengan melakukan operasi katarak dengan hasil operasi yang optimal, dengan mengangkat lensa yang keruh dan menggantinya dengan lensa buatan sehingga penglihatan dapat kembali normal. Operasi ini tidak memakan biaya yang terlalu mahal dan telah masuk ke dalam skema jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan.
Kebutuhan operasi katarak di Indonesia lebih kurang 240.000 orang setiap tahunnya. Sementara itu, kemampuan untuk melakukan operasi katarak diperkirakan baru mencapai 180.000/tahun sehingga setiap tahun selalu bertambah backlog. Besarnya backlog katarak disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalahkarena akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mata masih terbatas terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan yang belum memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan SDM kesehatan yang memadai, salah satunya keberadaan dokter spesialis mata. Jika kita tidak segera mengatasi backlog katarak ini maka angka kebutaan di Indonesia semakin lama akan semakin tinggi.
“Salah satu upaya yang dilakukan oleh PMN RS Mata Cicendo Bandung untuk mengurangi backlog katarak adalah dengan menambah kamar bedah yang pada hari ini diresmikan. Dengan bertambahnya kamar bedah, PMN RS Mata Cicendo Bandung dapat melakukan lebih banyak operasi katarak sehingga dapat mengurangi jumlah penderita katarak”, tandas Menkes.
108 Tahun RS PMN Cicendo: Kita Bersama Untuk Masyarakat
Gubernur Jawa Barat, Dr. Achmad Heryawan, LC, merasa bangga terhadap keberadaan RS PMN Cicendo yang telah berusia jauh lebih tua dibandingkan Republik Indonesia. Dukungan bahwa Jawa Barat siap mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan kebutaan juga disampaikan.
“Kami tidak ragu, bila ada program percontohan untuk mempercepat penyelesaian masalah gangguan penglihatan dan kebutaan serta peningkatan kesehatan mata, kami siap”, tandas Achmad Heryawan.
Pada peringatan ulang tahun RS PMN Cicendo, dijelaskan oleh Direktur Utama RS PMN Cicendo, dr. Irawati, SpM(K), MARS, diselenggarakan bakti sosial operasi katarak bagi 108 orang, skrining Diabetik Retinopati dan pemilihan Duta Mata Sehat Masyarakat.
“Dengan bertambahnya usia, RS PMN Cicendo tetap ingin terus meningkatkan layanan kesehatan mata bagi masyarakat”, tuturnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan email kontak@depkes.go.id.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Oscar Primadi, MPH