Jakarta, 10 Februari 2017
Dalam upaya pelayanan kesehatan, biaya yang dibutuhkan terus mengalami peningkatan. Salah satunya dalam pemenuhan kebutuhan obat bagi masyarakat. Untuk mengantisipasi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di sektor kesehatan yang berdampak pada ketimpangan harga obat, Kementerian Kesehatan melakukan berbagai upaya.
Pertama, penerapan sistem e-catalogue pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pasien sangat diuntungkan dengan diberlakukannya sistem e-catalogue, karena obat-obatan yang masuk dalam e-catalogue merupakan obat generik yang harganya lebih terjangkau.
Di dalam e-catalogue sudah tertera daftar obat dan harganya, jadi tidak ada proses tender lagi. Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan dapat melihat obat mana yang akan mereka pilih untuk memenuhi kebutuhan obat pasiennya dengan harga yang lebih murah.
“Sejak era JKN kami sudah menerapkan sistem e-catalogue. Ini sangat menolong, jadi tidak ada lagi tawar-menawar tapi tinggal lihat saja di dalam e-catalogue ini, obat apa yang mau dibeli. Misalnya obat A ada tiga macam, harganya tentu ada perbedaan, kemudian tinggal kita pilih yang ada di situ. Sistem ini jauh lebih terbuka, transparan dan tidak ada lagi persaingan”, ujar Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek sesaat setelah melakukan penandatanganan MoU dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Kantor Kementerian Kesehatan, Jumat (10/2).
Kedua, Menteri Kesehatan menetapkan Permenkes No. 69 tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat. Di dalam Permenkes tersebut dijelaskan bahwa apoteker memiliki kesempatan untuk memberikan alternatif obat kepada pasien dari obat yang diresepkan oleh dokter dengan konten yang sama. Sehingga, pasien dapat memilih obat dengan konten yang sama tetapi dengan harga yang disesuaikan dengan kemampuan mereka.
“Catatannya dengan konten yang sama, itu yang penting. Jadi, bukan berarti apoteker semena-mena menukar atau mengganti obatnya”, tegas Menkes.
Permenkes ini dibuat dalam rangka menjamin keterjangkauan harga obat sebagai upaya memenuhi akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat.
“Sebenarnya pasien itu berhak untuk mengetahui obat-obat yang sama dengan harga yang lebih murah untuk memerangi harga obat yang mahal. Jadi, pada waktu pasien mendapat resep, dia seyogyanya mendapatkan informasi tentang harga obat yang sama”, terang Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang.
Permenkes ini sudah mulai diimplementasikan sejak setahun yang lalu. Tentu saja dengan pengawasan yang dilakukan oleh Kemenkes dan asosiasi apoteker yang ada di KPPU serta dinas kesehatan setempat.
“Apotek itu mendapat ijin dari dinas kesehatan. Dinkes itu juga wajib untuk melakukan pembinaan dan mereka tentu akan sewaktu-waktu turun dan membina bagaimana pelayanan kefarmasian yang baik dan benar itu dilakukan, termasuk memberikan informasi kepada pasien. Memberikan informasi kepada pasien tentang obat, tentang harganya, memberikan konseling adalah tugas seorang apoteker” ujar Linda.
Ketiga, adanya pemberlakuan Inpres No. 6 tahun 2016 tentang percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Inpres ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dengan melibatkan 12 Kementerian/Lembaga, yaitu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Kesehatan; Kementerian Keuangan; Kementerian Ristek, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Perindustrian; Kementerian Perdagangan; Kementerian Pertanian; Kementerian BUMN; Badan Koordinasi Penanaman Modal; Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam Inpres ini salah satu tugas Kemenkes adalah menetapkan roadmap (rencana aksi) pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Roadmap ini dijalankan mulai tahun 2016, dengan skenario 3 kali 5 tahun.
“Transfer teknologi itu 5 tahun pertama, 5 tahun kedua sudah mulai capture the technology, kemudian 5 tahun berikutnya sudah mulai menciptakan produk-produk baru,” ujar Linda.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.