Jakarta, 6 April 2017
Curhat atau curahan hati, sebuah akronim yang sudah terdengar familiar. Hampir setiap orang pernah melakukan Curhat, baik itu tatkala mendapatkan kegembiraan, apalagi menghadapi kesemasan. Hal sederhana yang dilakukan semua orang ternyata memiliki manfaat yang besar karena dapat menghindarkan seseorang dari depresi.
Dalam kegiatan temu media di Kantor Kementerian Kesehatan mengenai Hari Kesehatan Sedunia 2017 yang mengangkat tema global “Depression: Let’s Talk” dan tema nasional adalah “Depresi: Yuk Curhat!”, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. H. M. Subuh, MPPM, menekankan pentingnya upaya memahami lebih dalam tentang depresi agar dapat menemukan cara menanggulangi, serta pentingnya dukungan bagi orang-orang yang mengalami depresi dengan menemani dan menyemangati, dan mendengarkan tanpa menghakimi.
“Tanpa kita sadari sebenarnya curhat itu penting, untuk exhaust. Mengekspresikan perasaan bisa mengurangi beban masalah kejiwaan”, ujar dr. Subuh.
Hal selaras juga disampaikan oleh perwakilan WHO untuk İndonesia, Dr. Jihane Tawilah, bahwa stigma terhadap depresi harus dikurangi. Masyarakat harus lebih peka terhadap tanda dan gejala depresi. Setiap orang perlu bicara tentang depresi secara terbuka dan dewasa, peka terhadap tanda dan gejala agar bisa mendapatkan bantuan layanan kesehatan jiwa.
“Orang yang mengalami depresi itu merasa dirinya tidak baik,sementara orang-orang di sekitarnya tidak peka. Padahal orang yang depresi itu sedang sakit dan membutuhkan bantuan kita untuk sembuh dari penyakitnya”, tuturnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Diah Setia Utami, Sp. KJ., MARS, menyatakan bahwa masyarakat bisa membantu orang-orang yang mengalami depresi dengan mendengarkan mereka berbicara, dan membuka wawasan mereka bahwa di sekitar mereka ada harapan dan banyak orang yang ingin membantu mereka.
Dr. Diah juga sangat berharap agar stigma depresi di masyarakat bisa dikurangi bahkan dihilangkan, karena hal tersebut justru menjadi penghambat upaya seseorang menolong dirinya keluar dari situasi depresi yang dialaminya, bahkan justru memperparah keadaannya. Stigma yang dilabelkan kepada orang yang mengalami depresi diantaranya: orang yang tidak dekat dekat dengan Tuhan, kurang iman, tidak sabar terhadap cobaan Tuhan, diguna-guna atau didekati makhluk halus, dan lain sebagainya.
“Seringkali mereka tau ada yang terjadi dalam dirinya, namun seringkali merasa rakut salah menyatakan perasaan. Terkadang mereka sudah bicara tapi tidak didengarkan, malah dinasehati, atau disalahkan. Itu justru memperparah keadaan”, katanya.
Secara umum, yang dibutuhkan adalah pendengar yang baik. Utamanya adalah tidak memotong pembicaraan, bukan malah menasehati apalagi menyalahkan.
“Tidak memotong pembicaraan, bersifat mendukung (supported), bisa memahami, ada reflective listening. Harus benar-benar bisa menjadi orang yang bisa mendengar, bukan just hearing melainkan listening”, tambahnya.
Dijelaskan oleh dr. Diah bahwa menyimak (listening) itu bukan hanya memakai telinga saja untuk mendengar, tetapi juga menggunakan indera lainnya, seperti: mata (untuk melihat gerak tubuh dan ekspresi), hati (untuk berempati terhadap apa yang dikatakan), dan pikiran (untuk mengkoneksi setiap kata dan ucapan).
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.
Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Oscar Primadi, MPH
NIP 196110201988031013