Oleh : Anjari, S.Kom, S.H, MARS
Mediakom Edisi 77 halaman 34
Sambil menunggu penerbangan yang telat menuju Pontianak, saya melakukan riset kecil-kecilan melalui mesin pencari Google. Saya gunakan kata kunci “Pontianak rokok”. Saya sedikit terkejut menemukan berita bagaimana “galaknya” Wali Kota Pontianak Sutarmidji terhadap perilaku merokok, terutama kepada jajarannya. Saya bersyukur dapat mendengar langsung “galaknya” orang nomor satu kota peraih Standar Pelayanan Tertinggi Pelayanan Publik dua tahun berturut-turut dari Ombudsman RI itu.
“Saya tidak melarang orang merokok. Saya hanya memberikan pilihan kepada pejabat, jabatan atau merokok,” ujarnya dalam pertemuan blogger kesehatan di Pontianak, Jumat (23/12/2016)
Di hadapan 30 blogger Pontianak, Wali Kota menceritakan pernah bertanya jumlah rokok yang diisap oleh pejabat kota Pontianak. Ada pejabat mengaku bisa menghabiskan empat bungkus rokok sehari. Jika sebatang rokok dihabiskan selama 6 menit, sebungkus rokok berisi 20 batang memakan waktu 120 menit.
Sementara itu, perokok pasti merokok di luar ruangan karena dilarang di dalam ruangan. Menurut hitungan Wali Kota, perokok menghabiskan waktu 3 jam sehari untuk mengisap sebungkus rokok. Itulah latar belakang kebijakan larangan merokok bagi pejabat Kota Pontianak. “Sebenarnya saya juga tak melarang ada yang merokok di dalam ruangan. Syaratnya, asap rokok jangan sampai keluar,” katanya.
Tidak cukup itu, Wali Kota Pontianak itu juga mengancam akan menindak tegas bagi pelajar yang ditemukan merokok. Para pelajar akan dirazia dan diperiksa giginya untuk mengetahui apakah yang bersangkutan merokok atau tidak. Bila ditemukan pelajar yang merokok, Sutarmidji mengancam mencabut pendidikan gratis bagi siswa bersangkutan. “Kalau dia merokok, dia harus membayar iuran sekolah sebesar Rp 1,8 juta per tahun,” ucap Sutarmidji.
Tak hanya di jajarannya saja, Sutarmidji juga menegaskan, tidak memasukkan keluarga miskin yang perokok dalam daftar keluarga penerima bantuan cadangan pangan dari Pemkot Pontiananak. Menurut Sutarmidji, mereka yang mampu membeli sebungkus rokok dengan harga sekitar Rp 13.000 per bungkus, berarti memiliki uang sekitar Rp 400 ribu per bulan untuk membeli rokok. Padahal, lanjutnya, bantuan cadangan pangan sebanyak 15 kilogram beras hanya senilai Rp 150 ribu.
“Masak untuk membeli rokok sanggup tetapi untuk beli beras tidak. Bahkan saya ancam juga kalau masih saja dia merokok, pendidikan anaknya yang selama ini gratis, kita suruh bayar,” tegasnya.
Sutarmidji juga cerita pernah marah gara-gara data statistik di Rumah Sakit Paru Pontianak. Tercatat pasien terduga tuberkulosis mencapai sekitar 3.000 orang. Tenyata setelah dipilah, pasien yang berasal dari Pontianak sekitar 179 orang. “Kalau investor tahu pasien tuberkulosis sampai 3.000 orang kan nggak bakal jadi investasi,” pungkasnya.
Dari lebih 500 kabupaten/ kota di Indonesia, baru sekitar 70 kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan dan peraturan yang komitmen terhadap dampak bahaya merokok. Meminjam kalimat Wali Kota Pontianak, rokok bukan urusan pribadi tapi sudah urusan negara. Tidak lagi hanya bisa imbauan, melainkan ketegasan dan keteladanan dari pemimpin.
Ketegasan Walikota Pontianak Sutarmidji atas perilaku merokok pejabat dan rakyatnya, turut mendorong indeks pembangunan manusia (IPM). Semenjak di pimpin Sutarmidji, IPM Kota Pontianak diposisi 125 tahun 2007, namun pada tahun 2013 melejit pada posisi 23. Luar biasa! Andai Wali Kota Pontianak ini bisa “dikloning” di daerah lain ya. Rokok, kelar loe!