08 Agustus 2017
oleh: Prawito
Suatu hari, sehabis shalat ashar di Masjid dekat Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah, pulang agak lambat, karena membereskan beberapa tulisan untuk diupload ke web sehatnegeriku.go.id, maklum masjid itu terasa nyaman.
Selain sejuk, juga tersedia minuman mineral dalam kulkas dalam masjid, gratis. Selesai upload, membaca beberapa surat al-quran untuk menggenapi one day one just. Selanjutnya, saya akan pulang ke KKHI untuk melanjutkan agenda berikutnya.
Ketika berdiri dan beranjak jalan, 3 orang anak–anak berpakaian jubah, pastinya anak keluarga arab asli, maksudnya bukan Turki, Banglades atau Pakistan, apalagi Indonesia, mereka melambaikan tangan.
Saya pahami mereka memanggil, saya mendekat dan bertegur sapa. Mereka menggunakan bahasa Arab, saya bahasa Inggris. Bukan saya sok jogo bahasa Inggris. Tapi karena terpaksa, hanya dengan bahasa itu yang bisa dilakukan, sekenanya lagi. Sebab, bahasa Indonesia mereka lebih tak paham lagi.
Saya tak paham sama sekali bahasa mereka, hanya satu kata waktu itu yang saya pahami dari kosa kata mereka “halal-halal”. Mereka menyodorkan sepotong kue dengan bungkus tisu, serta satu gelas air teh hangat tawar yang mereka keluarkan dari termosnya.
Sebagai bukti otentik, saya ajak mereka foto bersama, dasar jurnalis. Eh, anak anak itu, kompak berkata “La..,La…, La….” maksudnya jangan foto, mereka ngak mau, dengan isyarat tangan, saya juga ngak tahu alasannya.
Ya sudah, karena ngak mau, tak usah dipaksakan. Yang penting “Happy”. Padahal saya sangat berkeinginan dari awal untuk berfoto dengan mereka, sayang nyaris terjadi, eh..gagal lagi. Belum rejeki, pikir saya.
Memang sejak semula mereka bertiga sudah ngobrol dan tertawa kecil menikmati kue bolu coklat lengkap teh tawar itu.
Sementara, ada empat halaqoh tahfiz quran yang sedang berlangsung bersama, dengan masing-masing ustd atau guru ngaji, kalau di Indonesia.
Mereka melakukan murojaah, menghafal satu-satu menghadap ustadnya. Setiap halaqoh berisi kurang lebih 10-15 santri, semua berpakaian arab, jubah putih, kopiah putih atau sorban.
Rapih, bersih dan ganteng-ganteng, pernah saya ingin rasanya berfoto dengannya, tapi ada kabar ngak boleh, menurut adat atau budaya setempat.
Ketika saya ngobrol dan makan kue bersama mereka, tentu diselenggi dengan gelak tawa yang agak keras, sekalipun diantara kami juga tak paham betul masing-masing bahasa yang digunakan.
Tapi keduanya paham kira kira apa maksud percakapan, kemudian tertawa bersama. Makan, minum, terus tertawa dan begitu seterusnya, sambil berbincang. Sekali lagi nyambung dan tertawa, walau tak paham bahasa kata per kata, apalagi kalimat.
Entah bagaimana ceritanya, tiba tiba, ada polisi arab pakaian lengkap masuk, kemudian memegang lengan saya, penuh curiga dan bertanya yang saya juga ngak paham apa pertanyaanya. Saya hanya diam dan tersenyum, karena tak paham apa pertanyaannya dan juga merasa tak bersalah.
Jadi ya, tenang tenang saja. Kalau toh saya makan kue atau roti, mereka sudah bilang halal, artinya mereka menawari saya untuk makan.
Ditengah ketidakpahaman saya, polisi ini bedebat dengan anak anak kecil yang kira-kira masih usia sekolah SD, kalau di Indonesia. Perkiraan saya isi perdebatannya begini, maaf karena tidak ada penerjemah ya, hanya kira-kira, he he he….
Polisi; dengan penuh curiga berkata, mengapa kalian tidak ikut belajar tahfis, malah makan kue dan minum sambil tertawa-tawa bersama orang asing yang tak kalian kenal ?, sambil pegang tangan saya.
Anak-nanak; engak papa, ini orang Indonesia, saya yang menawarkan untuk duduk bersama dan menikmati kue bersama kami…
Polisi; kenapa kalian tidak ikut tahfis bersama peserta tahfis yang lain, seperti teman kalian itu ?
Anak-anak; kami juga akan ikut tahfis seperti mereka, setelah menyelesaikan makan dan minum, ayolah pak polisi silahkan makan dan minum, enak lho…ngak percaya, silahkan coba, ngak usah marah-marah, apalagi mencurigai sesama muslim.
Polisi; dengan rasa malu, dan tertawa keci