Jakarta, 27 Agustus 2018
Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, menyatakan terdapat tiga hal penting yang harus dipertimbangkan atas implementasi Peraturan Direktur Penjaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan nomor 2, 3,5. Hal ini disampaikan Menkes Nila Moeloek pada Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta Pusat, Senin siang (27/8).
Pertama, substansi Perdirjampelkes secara eksplisit mengurangi manfaat bagi peserta jaminan kesehatan nasional (JKN). Padahal terkait manfaat yang diterima peserta, berdasarkan amanat UU nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN), seharusnya diatur oleh Peraturan Presiden.
Seperti yang kita ketahui bersama, saat ini tengah terjadi ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran dana jaminan sosial kesehatan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sebenarnya telah merumuskan bauran kebijakan pengendalian defisit yang akan dituangkan dalam beberapa peraturan baik Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, maupun Peraturan BPJS Kesehatan.
“Salah satunya akan ada revisi Perpres nomor 12 tahun 2013 tentang JKN. Namun, saat revisi Perpres belum selesai, BPJS Kesehatan telah menerbitkan tiga Perdirjampelkes tentang penjaminan bayi baru lahir sehat, rehabilitasi medik, dan operasi katarak, dengan tujuan sebagai pengendalian pengeluaran.” ungkap Menkes.
Kedua, Menkes mempertanyakan dari sisi hukum terkait kedudukan dalam tatanan hukum di Indonesia dengan kondisi Perdirjampelkes yang memiliki jangkauan pengaturan ke pihak luar (eksternal).
Menurut Menkes, Perdirjempelkes seharusnya bersifat mengatur internal BPJS. Namun, ketika pengaturan tersebut berdampak pada pemberian layanan dan manfaat yang diterima peserta maka tidak cukup dilakukan dengan peraturan setingkat direktur.
Ketiga, beberapa organisasi profesi (IDI, IDAI, PERDAMI, PERDOSRI, POGI) dan asosiasi fasilitas kesehatan (PERSI dan ARSSI) menyatakan keberatan dengan pertimbangan penurunan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan bagi peserta JKN.
“Hal ini tentu juga tidak sejalan dengan komitmen global Vision 2020, antara lain pencegahan kebutaan melalui operasi katarak. Selain itu pula tidak mendukung program nasional dalam hal penurunan angka kematian ibu dan bayi.” imbuh Menkes.
Menkes menerangkan bahwa pasca terbitnya Perdirjampelkes tersebut pihak Kementerian Kesehatan RI memprakarsai beberapa pertemuan sebagai upaya mediasi antara BPJS Kesehatan dengan organisasi profesi dan asosiasi RS yang difasilitasi Kemenkes.
“Karena pada saat itu terjadi kegaduhan, kami mencoba menengahi”, terang Menkes.
Mediasi tersebut menghasilkan tiga kesepakatan, yaitu: 1) Kemenkes meminta BPJS Kesehatan untuk menunda implementasi Perdirjampelkes; 2) Kemenkes mendorong IDI dan organisasi profesi untuk segera menyusun standar pelayanan kesehatan terutama pada area yang disengketakan dengan mempertimbangkan keselamatan pasien dan tujuan pembangunan nasional; dan 3) Kemenkes meminta organisasi profesi untuk melakukan audit medik da pembinaan anggota apabila ditemukan ketidaksesuaian.
“Kami meminta agar BPJS Kesehatan menunda peraturan tersebut, agar dapat dilakukan harmonisasi dengan organisasi profesi terlebih dahulu.” tegas Menkes.
Selaras dengan hal tersebut, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dr. Sigit Priohutomo, MPH, menyatakan bahwa hal ini diatur dalam Peraturan Presiden bukan Peraturan Direktur BPJS Kesehatan.
“Saya bukan mengimbau agar ditunda, tetapi harapannya adalah instruksikan agar Perdirjampelkes BPJS Kesehatan nomor 2, 3, dan 5 agar dicabut karena tidak tepat dalam proses penyusunannya,” tandasnya.
Sementara itu, dengan pertimbangan bahwa pengaturan bagi peserta JKN diatur oleh peraturan presiden, Komisi IX DPR RI memerintahkan BPJS Kesehatan untuk mencabut Perdirjampelkes nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 mengenai penjaminan pelayanan katarak, bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik.
Berkaitan dengan hal tersebut, Komisi IX DPR RI juga meminta Kemenkes RI untuk mengoordinasikan organisasi profesi untuk menyusun pedoman nasional praktik kedokteran (PNPK) dalam rangka menjaga kendali mutu dan kendali biaya pelayanan JKN. Selain itu, diharapkan Kemenkes RI, DJSN dan BPJS Kesehatan untuk selalu melibatkan organisasi profesi dan asosiasi fasilitas kesehatan dalam setiap pembahasan peraturan atau kebijakan terkait pelaksanaan program JKN.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM