Jakarta, 28 November 2018
Resistensi Antimikroba telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dalam laporannya tahun 2014, WHO menyatakan bahwa masalah ini merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, termasuk di Indonesia. Masalah ini muncul akibat penggunaan antimikroba yang tidak bijak yang berujung pada tidak efektifnya terapi antimikroba.
Demikian disampaikan Dirjen Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI Bambang Wibowo mengawali pembukaan acara International Scientific Conference on Antimicrobial Resistance 2018, di Jakarta (28/11). Acara ini diikuti oleh perwakilan WHO, FAO, Lintas Kementerian dan Lembaga, akademisi, dinas kesehatan provinsi dan rumah sakit.
Menurut Bambang, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 memperlihatkan bahwa 10% masyarakat menyimpan antibiotik di rumah, dan 86,10% masyarakat di antaranya mendapatkan antibiotik tanpa resep dokter. Penelitian lain memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan yang nyata pada infeksi oleh kuman penghasil extended spectrum beta lactamases (ESBL) di rumah sakit.
Ditambahkan Bambang bahwa dengan letak geografis Indonesia yang strategis dan luas serta interaksi yang kompleks antar berbagai pemangku kepentingan, cenderung memiliki beban yang lebih besar dalam pengendalian resistensi antimikroba.
Karena pentingnya pengendalian resistensi antimikroba ini, pada tahun 2017, semua negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diharuskan memiliki Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-PRA) yang sejalan dengan Global Action Plan WHO.
Dengan berbagai upaya lintas sektor dan kementerian serta dukungan WHO, FAO dan OIE, RAN-PRA Indonesia tahun 2017-2019 telah diberikan ke WHO pada World Health Assembly 2017.
“RAN tersebut terdiri dari perencanaan seluruh lintas sektor dan lintas kementerian yang mencakup kegiatan membangun kesadaran; menyelenggarakan surveilans dan penelitian; melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi; memperbaiki higiene dan sanitasi; penggunaan antimikroba secara bijak; dan pengembangan investasi yang berkesinambungan,” terang Bambang.
Ia berharap dengan pertemuan ini akan didiskusikan rencana kebijakan, rancangan masa depan, serta soal pendanaan untuk menerapkan konsep one help dalam menanggulangi resistensi anti mikroba.
Konferensi Internasional Kendalikan AMR
Meski resistensi antimikroba dianggap penting dan strategis dalam kesehatan masyarakat, masalah ini belum mendapatkan perhatian luas untuk dikembangkan melalui penelitian dan inovasi.
Dari hasil analisis yang dilakukan oleh konsultan WHO pada saat penyusunan rencana aksi terungkap bahwa walaupun pelaksanaan awal telah berlangsung dan berkembang−seperti kewaspadaan dan surveilans, namun pengendalian resistensi antimikroba belum dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu secara lintas sektor.
Sejalan dengan upaya pengendalian resistensi antimikroba dengan konsep One Health Approach, pertemuan ini sebagai wadah untuk menghimpun para ilmuwan, peneliti, praktisi, dan penentu kebijakan untuk berbagi pengalaman tentang situasi terkini di masing-masing sektor serta hasil penelitian dari aspek resistensi antimikroba.
Isu strategis yang diangkat di antaranya perkembangan terakhir implementasi RAN-PRA di Indonesia, baik di sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, maupun lingkungan; upaya pengembangan surveilans, dan penelitian terkait PRA di Indonesia.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(gi)
Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM