Jakarta, 2 Januari 2019
Kondisi pascabencana seperti tsunami yang melanda sebagian wilayah Banten dan Lampung memicu terjadinya risiko masalah kesehatan reproduksi, seperti masalah kesehatan ibu hamil dan bayi, bahkan kekerasan seksual dan penularan HIV. Kemenkes menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan reproduksi dan masyarakat mesti memanfaatkannya.
“Setiap bencana keberadaan subcluster kesehatan menjadi prioritas karena berhubungan langsung dengan kesehatan dan keselamatan nyawa korban, termasuk dalam hal ini kesehatan reprodksi. Karena, dalam situasi bencana yang menangani ibu hamil dan bayi atau kesehatan reproduksi remaja adalah pelayanan kesehatan reproduksi,” kata Menkes di Jakarta, Rabu (2/1).
Bagi ibu hamil dan anak, dalam masa tanggap darurat bencana, Kemenkes telah menyediakan akses pelayanan kesehatan apabila sewaktu-waktu ada ibu hamil yang akan bersalin, dan ada tenaga kesehatan yang siap menolong persalinan. Disiapkan juga rumah sakit sebagai rujukan apabila terjadi masalah serius pada ibu hamil.
Jika rumah sakit rujukan tidak tersedia, akan dipastikan keberadaan petugas kesehatan di Puskesmas atau pos kesehatan agar dapat melakukan pelayanan emergency obstetri dasar dan perawatan neonatal. Hal itu dilakukan melalui bimbingan dan konsultasi dengan tenaga yang lebih ahli.
Bencana juga dapat memicu kekerasan seksual pada perempuan. Kasus itu terjadi karena kondisi infrastruktur wilayah terdampak bencana yang rusak.
Akibatnya, tenda dan toilet tidak terpisah antara perempuan dan laki-laki, lokasi sumber air bersih yang jauh dari pengungsian, tidak tersedianya penerangan yang memadai karena aliran listrik terputus, dan tidak ada sistem keamanan di pengungsian, seperti ronda malam.
Untuk mencegah hal tersebut, perlu koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempatkan kelompok rentan di pengungsian, diupayakan MCK laki-laki dan perempuan disediakan terpisah, namun jika tidak memungkinkan diharapkan adanya kesadaran dari masyarakat untuk saling menjaga.
Selain itu perlu penerangan yang cukup dan memastikan pintu MCK dapat dikunci dari dalam. Dilakukan juga koordinasi dengan penanggungjawab keamanan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Tenaga kesehatan memastikan tersedianya pelayanan medis dan psikososial di pengungsian dan memastikan adanya mekanisme rujukan, perlindungan dan hukum yang terkoordinasi untuk penyintas.
Pada masa tanggap darurat juga perlu mencegah terjadinya penularan HIV. Pada masa tersebut kebutuhan darah akan meningkat karena banyaknya korban terluka.
Transfuse darah yang aman sangat penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi, seperti hepatitis B, hepatitis C dan sifilis.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM