Saat ini industri farmasi Indonesia telah dapat memproduksi 90% kebutuhan produk obat dalam negeri bahkan untuk ekspor. Namun, hampir 95% produksi tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor.
Oleh karenanya, Kementerian Kesehatan telah melakukan beberapa upaya untuk menjamin ketersediaan bahan baku obat bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi.
“Tidak ada satu pun negara di dunia dapat 100% membuat kebutuhan bahan baku obatnya sendiri”, terang Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Dra. Maura Linda Sitanggang pada acara temu media bertema Ketersediaan Bahan Baku Obat di Indonesia, di kantor Kemenkes (9/3).
Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun roadmap pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan Iptek; dan meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumberdaya alam, dan bioteknologi.
Saat ini, Indonesia telah mampu membuat bahan baku obat dalam negeri antara lain Paracetamol; Antibiotik turunan Betalaktam (Ampisilin, Cloksasilin, Benzilpenisilin Potasium, dan Sulbaktam); produk eksipien (Amilum Manihot, Sorbitol, Dekstrosa, dan Talkum); bahan baku obat turunan Kina; Iodium; bahan baku obat herbal (fraksi bioaktif Cinamomum burmani (kayumanis) dan Lagerstroemia speciosa (banaba); beberapa fraksi bioaktif Phaleria macrocarpa (mahkota dewa); fraksi protein bioaktif Lumbricus Rubellus).
Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri antara lain (Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkoekuin, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas, dan industri farmasi), tambah Dirjen Bina Farmasi dan Alkes.
Pada tahun 2012 pemerintah merencanakan meningkatkan produksi bahan baku obat Lovastatin secara fermentasi; Epigalokatekin Galat; Difruktosa Anhidrida III; turunan Ibuprofen. Di samping itu, melakukan penelitian produksi produk eksipien yaitu garam pharmaceutical grade dan Pati ter-pregelatinasi.
Menurut Dirjen Binfar Alkes, bahan baku obat tradisional yang sedang dikembangkan antara lain ekstrak kering temulawak terstandar; ekstrak kering temulawak terfraksinasi terstandar; ekstrak kering sambiloto terstandar; ekstrak kering sambiloto terfraksinasi terstandar; ekstrak kering pegagan terstandar; ekstrak kering terstandar herba meniran; ekstrak kering terstandar rimpang kunyit; ekstrak kering terstandar herba binahong; ekstrak kering terstandard herba kumis kucing; ekstrak kering terstandar daun salam.
Selain itu, dilakukan studi kelayakan pengembangan bahan baku obat dan obat tradisional di dalam negeri yaitu produk eksipien turunan pati; produk ekstrak; serta produk antibiotik turunan Betalaktam.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang dampak kenaikan BBM terhadap harga obat, Dirjen menyatakan biasanya harga obat-obatan yang paling lebih stabil kenaikan harganya dibandingkan dengan kebutuhan lain.
Dirjen menambahkan, konsumsi obat di Indonesia dibandingkan dengan Dunia Global hanya 1%. Berarti, jika kita membuat bahan baku obat itu sudah akan masuk roadmap bahwa pasar ekspor itu merupakan salah satu target.
Sementara itu, “Obat generik adalah obat yang paling cost effective sebagai strategi untuk menekan harga”, ujar Dra. Maura Linda Sitanggang.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567 dan 081281562620, atau alamat e-mail info@depkes.go.id,