Jombang, 9 Maret 2019.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk tidak mengizinkan calon jemaah haji melaksanakan ibadah haji karena alasan kesehatan berdasarkan pertimbangan aspek syar’i dan medis. Ketetapan ini merupakan salah satu hasil ijtima ulama untuk mendukung penerapan istitaah kesehatan dalam penyelenggaraan haji Indonesia.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA, menegaskan pentingnya pemenuhan istitaah bagi jemaah haji. Dalam acara ‘Sosialisasi Hasil Ijtima Ulama Indonesia tentang Kesehatan Haji’ yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan pada 8-9 Maret 2019 di Jombang Jawa Timur, Niam mengatakan, MUI pusat dan daerah beserta seluruh organisasi masyarakat Islam se-Indonesia telah mengadakan forum ijtima ulama pada Mei 2018, yang salah satunya membahas persoalan kesehatan haji untuk memutuskan ketentuan hukum dan rekomendasinya.
“Ijtima ulama komisi fatwa memandang perlu melakukan pembahasan hingga memutuskan berbagai hal terkait aspek syar’i istitaah kesehatan dan operasionalisasinya. Sehingga dapat menjadi panduan bagi jemaah, pemerintah, khususnya Kemenkes, dalam mempersiapkan penyelenggaraan ibadah haji dengan baik,” terang Niam.
“Selain menjamin pelaksanaan ibadah haji sesuai ketentuan syariah, sekaligus juga kondisi sehat bugar fisiknya jemaah baik sebelum, selama dan setelah ibadah haji,” imbuhnya.
Menurut Niam kewajiban ibadah haji diperuntukkan bagi muslim yang memiliki kemampuan (istitaah), tidak bagi setiap orang islam. Menurut mazhab ulama, istitaah yang menjadi syarat wajib haji terbagi menjadi dua. Pertama yang berpandangan hanya menyangkut kemampuan pembiayaan, yang kedua berpendapat terkait kemampuan finansial dan kesehatan. Oleh karenanya persyaratan istitaah kesehatan tidak boleh ditentukan sendiri oleh pemerintah, tapi harus melibatkan lembaga lain dan masyarakat, khususnya para ulama.
“Sinergi itu sudah selayaknya dilakukan. Kami apresiasi ikhtiar sosialisasi dan sinergi yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui acara ini. Kegiatan seperti ini perlu diperluas, tidak hanya di satu titik, tapi juga di daerah lain,” ujarnya.
Keputusan ijtima ulama merupakan hasil kesepakatan forum pemusyawaratan Komisi Fatwa se-Indonesia VI tahun 2018 tentang masalah fikih kontemporer, yang terkait dengan masalah kemasyarakatan strategis, diantaranya tentang penyelenggaraan ibadah haji. Forum tiga tahunan tersebut diselenggarakan pada 7-10 Mei 2018 lalu di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Secara spesifik, ijtima ulama meliputi lima hal, yakni: a) istitaah kesehatan haji, b) safari wukuf, c) badal melempar jumrah, d) penggunaan alkohol untuk bahan obat, dan e) plasma darah untuk bahan obat.
Ketentuan hukum dari ijtima ulama yang perlu digarisbawahi ialah seseorang yang sudah mampu dalam aspek finansial dan keamanan, tetapi mengalami udzur syar’i (halangan) untuk berhaji secara mandiri karena penyakit atau kondisi tertentu, maka kewajiban haji tidak gugur, namun pelaksanaannya ditunda atau dibadalkan/diwakilkan. Untuk itu pemerintah (ulil amri) didorong untuk meningkatkan pelayanan kesehatan sebaik mungkin bagi calon jemaah haji yang mengalami masalah kesehatan agar dapat melaksanakan ibadah haji dengan baik.
Kemenkes mengakui peran penting ulama dalam penegakkan syariat Islam terutama tentang pemahaman istitaah kesehatan bagi jemaah haji.
“Jemaah haji harus kita lindungi sesuai aturan yang ada juga sesuai syariat Islam. Saya berterimakasih kepada MUI,” tutur Eka Jusup Singka, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes.
Sosialisasi ijtima ulama
Menyadari pentingnya hasil ijtima ulama tersebut, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan menyelenggarakan kegiatan sosialisasi di beberapa daerah yang diawali dari Provinsi Jawa Timur.
Sebanyak 121 orang peserta yang merupakan perwakilan dari MUI seluruh Jawa Timur, Kementerian Agama dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, Dinas Kesehatan se-Jawa Timur dan juga utusan dari forum komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah (KBIH) di Jawa Timur hadir pada kegiatan yang digelar di kota santri, Kabupaten Jombang.
“Dengan sosialisasi ini kami harap ada pemahaman yang utuh tentang istitaah kesehatan haji dan hasil keputusan ijtima ulama lainnya. Istitaah kesehatan ini perlu dimengerti dan didukung seluruh pihak untuk kepentingan jemaah,” kata Dr. Rosidi Roslan, SH, SKM, MPH, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengendalian Faktor Risiko Kesehatan, Pusat Kesehatan Haji Kemenkes, saat membuka acara tersebut pada Jumat (8/3).
Saat ini, menurut Rosidi, ketentuan istitaah kesehatan haji sudah mendapatkan dukungan penuh dari Kementerian Agama berupa dikeluarkannya surat edaran Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag pada tahun 2018 yang mewajibkan calon jemaah haji untuk memenuhi persyaratan istitaah kesehatan terlebih dulu sebelum dapat melunasi setoran hajinya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (AM).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM.