Jakarta, 6 April 2019
Menjadi tenaga medis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan ada banyak tantangan melintang, seringkali itu buat deg-degan, apalagi nyawa yang dipertaruhkan. Tidak hanya masalah geografis, adanya serangan penyakit ganas justru bikin merinding, menangis, tapi harus ditepis.
Kondisi itu cukup menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh 7 orang tenaga medis Nusantara Sehat (NS) di Distrik Iwur, Pegunungan Bintang, Papua pada 2016. Malaria menjadi musuh utama masyarakat Distrik Iwur. Keberadaannya saat itu menduduki urutan ke-2 setelah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dalam urutan 10 penyakit tertinggi pada tahun 2016.
6 orang dari mereka diserang malaria berkali-kali, ada dr. Firman Budi Setiawan, Intan Br. Sinaga (perawat), Sri Rachmayanti (Tenaga Kesmas), Fitria Anggraini (Tenaga Kesling), Ade Tri Hastuti (analis lab), Nurasma Hamra Yati (Bidan), dan Aisyah Nurkumalasari (gizi). Beruntung, Aisyah terhindar dari malaria selama penugasan.
Hingga akhir penugasan pada bulan Mei 2017, Sri Rachmayanti tercatat 3 kali malaria, Ade Tri Hastuti 2 kali, dr. Firman 3 kali, Intan 1 kali, Nurahma 3 kali, dan Fitria Anggraini 4 kali. Itu menandakan siapapun bisa terkena malaria.
Fitria Anggraini mengaku dari 4 kali terserang malaria, yang paling parah adalah serangan malaria pertama pada 19 Oktober 2015. Saat itu Fitria tengah betugas di Puskesmas.
Tak seperti hari biasanya, Fitria merasakan ada perbedaan pada kondisi tubuhnya. Mual dan lemas nampak memaksa Fitria mengakhiri tugasnya di Puskesmas hari itu. Gejala lain pun datang berurutan, demam tinggi, muntah, nyeri kepala, pegal-pegal harus ia rasakan.
“Gejalanya hampir satu minggu, setelah 1 minggu di-RDT baru positif malaria,” katanya saat dihubungi via ponsel, Jumat (5/4).
Fitria pasrah saja, merasakan gejala malaria yang menurutnya sangat berat. 1 minggu demam, menggigil, muntah, dan suhu tubuh mencapai 39-40 derajat celcius, namun ia tetap survive. “Sebenarnya yang bikin berat itu gejalanya, tapi setelah tahu positif malaria, dilakukan terapi pengobatan yang tepat, yah lumayan membantu,” ucapnya.
Teman-teman satu tim terus merawat Fitria, dorongan agar segera sembuh pun terus diberikan kepada Fitria. Barulah sekitar 2 minggu, Fitria sudah dinyatakan pulih.
Kondisi yang paling menegangkan bagi peserta NS di Distrik Iwur ini adalah saat malaria menyerang 3 orang sekaligus dalam waktu yang sama, yakni dr. Firman Budi Setiawan, Intan Br. Sinaga, dan Ade Tri Hastuti pada November 2015. Bahkan ketiganya harus dirujuk ke Sentani, Jayapura dengan menggunakan pesawat. Beruntung, setelah melewati perawatan di sana ketiganya dinyatakan sembuh.
Malaria menjadi momok menakutkan bagi mereka, namun karena Distrik Iwur merupakan wilayah endemis malaria, bagi masyarakat di sana malaria sudah seperti penyakit flu. Hamra, sapaan Nurasma Hamra Yati mengatakan bahkan sampai ada anak usia 6 tahun datang ke Puskesmas sendiri untuk berobat. Saat diperiksa suhu badannya 40 derajat celcius dan terdiagnosa malaria.
“Tapi masih sanggup berdiri dan tampak tegar,” katanya. Namun demikian, malaria menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak di sana setelah ISPA.
Saat itu, berdasarkan data distribusi penyakit pasien rawat jalan di Puskesmas Iwur, Distrik Iwur pada Desember 2015, kasus malaria positif sebanyak 42 orang dan malaria klinis sebanyak 10 orang. Kasus tersebut meningkat pada 2016 menjadi 100 orang penderita malaria positif, dan 15 orang penderita malaria klinis.
Hingga akhir Mei 2017 bertepatan dengan berakhirnya penugasan mereka, jumlah kasus malaria positif tercatat 105 penderita dan 40 orang penderita malaria klinis.
Selain malaria, banyak lagi tantangan yang mereka lalui. Walau jadi beban, tugas tetap diemban. Ketulusan menjadi modal utama mereka dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di pedalaman Papua, di Distrik Iwur.
Hingga akhir penugasan, banyak perubahan yang terjadi atas jasa mereka. Mulai dari berperilaku hidup bersih dan sehat, memberikan makanan bergizi untuk keluarga, cara memasak masakan bergizi untuk anak, dan banyak lagi perubahan lainnya.
Mimpi yang paling diinginkan bagi para peserta NS itu adalah tingginya kualitas kesehatan masyarakat di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepualauan.
Harapan di Hari Malaria Sedunia
Kurang dari 3 minggu kita akan menghadapi Hari Malaria Sedunia yang jatuh setiap tanggal 25 April. Pada hari tersebut terdapat harapan dari seluruh masyarakat di dunia akan rendahnya kasus malaria.
Untuk mengupayakan hal itu, pemerintah Indonesia melakukan serangkaian strategi dalam mengatasi malaria. Meskipun sebagian besar penduduk tinggal di daerah bebas malaria, namun mobilisasi ke dan dari daerah endemis malaria cukup tinggi sehingga risiko tertular malaria tetap ada.
Pencegahan malaria melalui pengendalian vektor terpadu sesuai dengan spesifik lokal vektor. Secara umum upaya yang efektif adalah tidur menggunakan kelambu, penyemprotan dinding rumah, dan menggunakan repellent. Sementara upaya lainnya adalah dengan manajemen lingkungan, termasuk menebarkan ikan pemakan jentik.
Terapi kombinasi berbasis Artemisin (Artemisinin Based Combination Therapy /ACT) sesudah konfirmasi laboratorium juga merupakan pengobatan malaria yang efektif.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah diharapkan mampu menciptakan inovasi dalam menanggulangi masalah malaria di daerahnya masing-masing. Seperti di antaranya Juru Malaria Kampung di Teluk Bintuni, dan Sapu Bersih (Saber) di Ternate.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM