Yogyakarta, 20 Agustus 2019
Kementerian Kesehatan RI berupaya mengembangkan industri obat tradisional melalui sinergi Academic,Business,Government dan Community (ABGC) dan meningkatkan penggunaan obat tradisional pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Riset Tumbuhan Obat dan Jamu tahun 2017, Indonesia memiliki sumber alam hayati yang terdiri dari 2.848 spesies tumbuhan obat dengan 32.014 ramuan obat.
“Kekayaan sumber daya alam hayati yang dimiliki ini berpeluang bagi pertumbuhan industri farmasi termasuk industri obat tradisional,” kata Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dalam “Simposium Pengembangan Industri Obat Tradisional dan Peningkatan Penggunaan Obat Tradisional” pada Selasa (20/8) di Yogyakarta.
Presiden menginstruksikan kepada Kementerian Kesehatan melalui Inpres Nomor 6 tahun 2016 untuk memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alkes ke arah biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active Pharmaceutical Ingredients (API) kimia.
Kemudian Kementerian Kesehatan menindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan salah satunya dengan mengembangkan industri farmasi produk natural.
Dalam rmengembangkan obat tradisional di Indonesia terutama di sarana pelayanan kesehatan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu.
“Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) terhadap ramuan jamu melalui penelitian yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan,” jelas Menkes Nila
Obat Tradisional di Era JKN
Pada era Jaminan Kesehatan Nasional, biaya pelayanan kesehatan meningkat setiap tahunnya dimana pada tahun 2018 mencapai 94,29 triliun. Oleh karena itu, upaya promotif dan preventif diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan menekan biaya pelayanan kesehatan. Salah satu pilar pada Program Indonesia Sehat adalah Paradigma Sehat melalui promotif preventif.
Menteri Kesehatan Nila F.Moeloek meyakini bahwa obat tradisional memiliki peluang untuk digunakan dalam upaya promotif preventif terutama untuk menjaga daya tahan tubuh sebagai salah satu tradisi budaya masyarakat secara turun temurun dengan memanfaatkan kearifan lokal. Penggunaan obat tradisional, berupa obat herbal terstandar dan fitofarmaka di Puskesmas dapat melalui penggunaan dana alokasi khusus bidang kesehatan.
Hasil Riskesdas dari tahun 2010 hingga 2018, masyarakat yang menggunakan upaya kesehatan tradisional makin meningkat menjadi sebesar 44,3%. Hal ini menunjukkan minat masyarakat dalam penggunaan obat tradisional dan upaya kesehatan tradisional meningkat.
“Upaya pengembangan industri dan obat tradisional sangat memerlukan komitmen, dalam pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari semua pemangku kepentingan. Tentunya membutuhkan kerjasama antara Academic, Business, Government dan Community,” tutur Nila Moeloek
Dari sisi akademisi diharapkan bisa mengembangkan penelitian yang dapat diaplikasikan untuk menjadi obat tradisional. Di dunia industri mampu berperan aktif dalam pengembangan obat tradisional, terutama obat herbal terstandar dan fitofarmaka, melalui riset dan hilirisasi bahan baku obat tradisional.
Pemerintah sangat berperan pada pembinaan industri obat tradisional. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota diharapkan bisa meningkatkan penggunaan fitofarmaka dan obat herbal terstandar di Puskesmas melalui penggunaan dana alokasi khusus bidang kesehatan. Rumah sakit juga dapat berperan dalam meningkatkan penggunaan obat tradisional dan melakukan pelayanan berbasis penelitian.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (Tal).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM