Banyuwangi, 30 September 2019
Melalui terapi okupasi dan pemberdayaan orang dengan gangguan kesehatan jiwa (Teropong Jiwa), secara bertahap akan mengurangi ketergantuangan pada obat, termasuk para pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (Napza). Sebab mereka akan sibuk dengan berbagai kegiatan ringan yang menyenangkan dan mendapat penghasilan. Pemberdayaan ini akan membunuh rasa kesepian orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan pengguna napza, sehingga secara langsung akan mengurangi ketergantungannya terhadap obat dan napza.
Hal ini disampaikan Koordinator Kesehatan Jiwa Masyarakat, Puskesmas Gitik, Eko Budi Cahyono kepada awak media nasional kesehatan saat berkunjung ke Rumah Damping, Genesa Banyuwangi Foundation, Banyuwangi, tanggal 30 September 2019.
Menurutnya, setelah ODGJ dan pengguna napza stabil, mereka harus mendapat pembinaan dan pendampingan agar tidak kembali kambuh. Pendampingan itu diberi nama program terapi okupasi dan pemberdayaan orang dengan gangguan kesehatan jiwa (Teropong Jiwa). Yakni tempat untuk menampung ODGJ dan pengguna napza dengan terapi spiritual, kesenian dan keterampilan sesuai dengan kesiapan peserta.
“Mereka ada yang siap dengan mengembangkan kesenian, seperti tari-tarian, rebanaan. Secara mandiri pula mereka menyiapkan, mengembangkan segala perlengkapan dan sarana yang diperlukan untuk menunjang kegiatan kesenian”, ujar Eko.
Lebih lanjut Eko menjelaskan bahwa sejak berjalanya program teropong jiwa, sekarang ini sudah tidak ada masyarakat yang melakukan pemasungan terhadap ODGJ di wilayah puskesmas Gitik. Awalnya ada 7 orang ODGJ di pasung oleh keluarga atau masyarakat. Mengapa di pasung, sebab mereka sudah sangat mengganggu ketertiban masyarakat.
“Alhamdulillah mereka semua sudah sembuh, bahkan sampai sekarang tidak pernah melakukan rujukan ODGJ, semua selesai sampai tingkat puskesmas Gitik. Konsepnya ODGJ tidak meresahkan masyarakat, mereka mampu secara mandiri menjalani hidup. Melatih diri menghilangkan keinginan untuk menggunakan napza dan pikiran negatif”, ujarnya.
Pemberdayaan sebagai Terapi
Menurut Eko Budi Cahyono, seorang ODGJ dan pengguna napza setelah stabil, secara perlahan harus dikurangi dosis ketergantungannya pada obat, kemudian diarahkan kepada aktifitas positif yang dapat mengurangi ketergantungan pada obat. Secara perlahan mereka akan lupa dengan penggunaan napza dan terus gembira dan produktif. Kegiatan ini akan mengesampingkan adanya gangguan jiwa yang ada pada mereka.
Sebelumnya kegiatan teropong jiwa ini memantau kurang lebih 54 kasus ODGJ, kemudian di analisis agar tidak kambuh. Kemudian program teropong jiwa ini melibatkan orang tua asuh dan pengusaha asuh. Keduanya berkontribusi dan bekerjasama dalam pembinaan puskesmas Gitik, sehingga semua kasus terpantau dengan baik.
Salah satu tempat yang melakukan pendampingan ini adalah “Rumah Damping” pimpinan Mulyono. Ia seorang pendiri dan sekaligus inisiator yang mendampingi ODGJ dan para pengguna napza. Dirinya tergugah dan berinisiatif mendampingi mereka. Apalagi Mulyono juga mantan pengguna napza, jadi tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan mereka.
Menurutnya, mereka yang menggunakan napza umumnya karena latar belakang ekonomi yang sulit. Ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Banyak dari mereka yang ingin meneruskan pendidikan, tapi tak ada biaya. Sementera secara intelektual mereka mampu untuk meneruskan pendidikan. Akibatnya mereka terjebak mengkonsumsi napza untuk pelampiasannya.
Lebih lanjut Mulyono mengatakan sebelumnya, Rumah Damping ini “liar” karena tidak ada pihak manapun, termasuk pemerintah yang memayungi secara hukum atau memberi pembinaan. Saya hanya berbekal pengalaman sebagai mantan pengguna napza berusaha mendampingi mereka, kumpul-kumpul wirid dan doa bersama, olah raga dan kegiatan lain yang disepakati bersama.
“Tepatnya, tahun 2017 puskesmas Gitik kemudian memberikan pembinaan kepada rumah damping ini dengan memberikan pelatihan-pelatihan, kunjungan dan pengobatan kepada para ODGJ dan pengguna napza. Alhamdulillah sampai hari ini pembinaan dari puskesmas Gitik terus berlangsung secara aktif”, ujar Mulyono.
Mereka yang rata-rata berumur 19-22 tahun ini, sekarang sudah dipekerjakan sebagai petugas pom bensin, karyawan indomaret sebagai clining service, tukang bangunan dan pembuat kue kering di perusahaan UKM setempat. Selain memperoleh kegembiraan dapat berinteraksi dengan masyarakat, mereka juga mendapat penghasilan yang untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Mereka harus diberi pekerjaan yang ringan dan menggembiarakan, sebab kalau pekerjaan terlalu berat akan menyebabkan kambuh kembali. Sebab itu harus terus dilakukan pemantauan dan evaluasi”, kata Mulyono
Menurut Samsul (54) kakak kandung Hendrik, salah satu ODGJ yang kini berusia 50 tahun, setelah 30 tahun menjadi ODGJ sejak remaja, gara-gara patah hati, kini sudah mulai sembuh. Mampu berkomunikasi dengan baik, dapat menyampaikan keinginan dan harapan. Ia sekarang telah dilibatkan menjadi tukang bangunan, sebagai terapi penyembuhan.
“Dulu ketika umur 20 tahun, setelah patah hati, hanya mengurung diri di kamar, melamun sepanjang waktu. Kalau ditanya hanya terdiam, tak ada jawaban apapun. Sampai saya sebagai kakak kandung bingung harus bagaimana cara memberi solusi bagi Fren, panggilan Hendrik”, kata Samsul menceritakan kepada awak media.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(Praw)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM