Jakarta, 4 Oktober 2019
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan Dr. Fidiansjah, Sp.Kj mengatakan Kemenkes targetkan kurangi angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang ditelantarkan.
“ODGJ kita perhatikan, diberi obat, dan tidak ditelantarkan. Targetnya harus diobatin dan diberikan pelayanan,” katanya, Jumat (4/10).
Tanda-tanda ODGJ cukup sulit dilihat tidak seperti penyakit fisik, seperti sakit mata, atau telinga. Kalau penyakit jiwa sulit dilihat, abstrak. Namun, dr Fidi menjelaskan ada 3 komponen untuk mengetahui ODGJ.
Ketiga komponen tersebut pertama pikiran dan isinya, kedua perasaan, hal ini dapat dilihat dari ekspresi wajah, dan ketiga perilaku.
Yang menjadi masalah di masyarakat adalah adanya stigma negatif dari ODGJ.
“Stigma masyarakat tentang gangguan jiwa masih tinggi. Misalnya ketika mereka (ODGJ) beribat ke rumah sakit jiwa dibandingkan dengan RS Umum (RSU) akan beda. Ketika ODGJ berobat ke RSU tak ada stigma negatif, tapi kalau ke RS Jiwa malah muncul stigma negatif,” kata dr. Fidi.
Pencegahan harus juga dilakukan bagi orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). ODMK, kata Fidi, merupakan orang yang mengalami masalah pada kejiwaannya, belum ODGJ.
“Jadi orang pada situasi yang berpotensi gangguan kejiwaan disebut ODMK. Misalnya karena bencana, atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Namun yang pasti ODMK sudah pada tataran tiga komponen tadi (pikiran, perasaan, dan perilaku), ucap dr. Fidi.
Terapi ODMK, tambah Fidi, bisa dilakukan dengan curhat.
ODGJ karena Game
Dr. Fidi mengatakan pecandu game berpotensi mengalami gangguan jiwa. Pecandu game sama dengan ketergantungan terhadap Napza.
“Pecandu game setelah diteliti otaknya kalau dia terpapar sejak Balita kerusakannya sama dengan pecandu Napza. Kalau prefrontal cortex belum berfungsi tapi sudah diberi kesenangan game, akibatnya dia merasa adiksi yang menyenangkan akibatnya anak-anak tidak mau belajar. Ini lebih berbahaya dripada psikotropika dan zat adiktif,” ucap dr. Fidi.
Gejalanya paling mudah bisa ditemukan oleh keluarga sendiri. Dapat dilihat dari kebiasaan seperti lebih memilih main game daripada belajar, atau bermain game dalam waktu yang lama.
Upaya Kemenkes dalam menanggulangi masalah tersebut dengan menyosialisasikan penggunaan teknologi dengan cerdasa. Artinya dengan pendekatan edukasi pada orangtua, dan pelajar mengenai penggunaan teknologi sesuai fungsinya, dan menjelaskan bahwa penggunaan teknologi dengan tidak bijak merupakan ancaman dan tantangan.
“Di keluarga harus memukau hal sederhana, misal ada waktu keluarga tanpa hp, misal saat beribadah dan makan,” ujar dr. Fidi.
Terkait upaya mengurangi jumlah ODGJ telantar, Kemenkes telah menekankan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Ada 12 indikator yang salah satunya adalah setiap ODGJ berat mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
“Setiap Pemda harus menyiapkan pelayanan ODGJ dan memberikan pelayanan sesuai standar,” ucap dr. Fidi.
Tak hanya SPM, di level Puskesmas, pelayanan ODGJ telah masuk ke dalam indikator Progran Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PISPK), antara lain gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan.
“Setiap wilayah Kerja Puskesmas jika terdapat ODGJ harus diobati dan tak boleh ditelantarkan,” kata dr. Fidi.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].(D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM