Flu burung merupakan salah satu Indonesia’s urgent public health risks, di samping bencana alam. Karena itu, Pemerintah menerapkan the National Avian Influenza Prevention and Control Program. Selain itu, karena penyakit zoonosis berpotensi pandemi, Pemerintah Indonesia telah membentuk Komite Nasional Zoonosis multisektoral berdasarkan Keputusan Presiden.
Demikian disampaikan Plt. Menteri Kesehatan, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD., pada pembukaan kegiatan Influenza Symposium Conjunction with IIF 4th Anniversary from Prevention to Treatment: Past, Present and Future Change di Bandung (9/6/12).
Disampaikan, selama dua dekade terakhir, masyarakat dunia menghadapi berbagai tantangan yang terkait dengan penyebaran berbagai mikroorganisme peyebab emerging infectious diseases (EID), salah satunya adalah Flu Burung (FB). Di Indonesia, angka kematian dan kesakitan akibat FB relatif rendah dibandingkan dengan penyakit menular lainnya seperti tuberkulosis dan malaria. Namun, ancaman FB terhadap keamanan manusia lebih besar dari penyakit menular lainnya, karena ada kemungkinan terjadinya mutasi dan memulai pandemi influenza. Bila pandemi influenza terjadi, dampaknya akan mempengaruhi semua negara di dunia. Diperkirakan akan ada kematian dalam jumlah besar, obat-obatan yang tidak memadai, gangguan ekonomi dan sosial. Oleh karenanya, setiap negara harus mencegah agar itu tidak terjadi dan senantiasa mengantisipasi.
“Kita ingat pandemi severe acute respiratory syndrome (SARS) pada 2002-2003 dan Pandemi Influenza H1N1 pada 2009. Kedua pandemi tidak hanya memiliki dampak terhadap kesehatan tetapi juga pada aspek ekonomi dan sosial”, ujar Prof. Ghufron.
Menurut Prof. Ghufron, Pandemi SARS juga melatarbelakangi adanya revisi Peraturan dan penerapan International Health Regulation (IHR) 2005 pada World Health Assembly (WHA) ke-58. Poin-poin penting dari IHR 2005 antara lain adalah pengembangan kapasitas inti dari negara-negara anggota untuk mendeteksi Public Health Risk of International Concern (PHRIC) dan respon terhadap Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Selain itu juga memberikan perhatian khusus pada kemungkinan penyebaran penyakit menular dengan potensi pandemi, di samping ancaman bahan kimia dan pencemaran radioaktif.
“Saat ini, kebanyakan orang Indonesia termasuk para profesional medis, percaya bahwa Influenza di Indonesia adalah penyakit ringan yang self-limiting disease. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki program imunisasi influenza tertentu. Vaksinasi untuk influenza yang bersifat musiman diberikan hanya untuk orang Indonesia yang bepergian ke Arab Saudi untuk melakukan Haji”, terang Prof. Ghufron.
Mengutip data surveilans Influenza Like Illness (ILI) di 24 Puskesmas dan Severe Acute Respiratory Infection (SARI) di 30 Rumah Sakit Indonesia yang dilaporkan oleh Institut Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2012), menunjukkan adanya peningkatan dari kasus influenza dari Oktober 2011 hingga Februari 2012.
Prof. Ghufron menambahkan, pada dasarnya, masyarakat dunia pernah tiga kali mengalami Pandemi Influenza sebanyak, yaitu Flu Spanyol (1918), Flu Asia (1957) dan Flu Hongkong (1968). Beberapa data penelitian tentang pandemi Influenza di Indonesia menyebutkan, sekitar tahun 1980, sejarawan Australia, Collin Brown menerbitkan sebuah makalah berjudul The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia. Makalah ini memberikan gambaran kejadian pada periode tersebut bahwa sekitar 1,5 juta orang meninggal di Indonesia. Selanjutnya, Gan Koen Han, dkk. menyebutkan bahwa pada April sampai Agustus 1957, wabah influenza pernah terjadi di Jakarta. Mereka mempelajari epidemi dan menemukan bahwa yang disebut Flu Asia masih digolongkan pada penyakit yang ringan.
Kasus Influenza H5N1 ditemukan pada unggas di 33 provinsi di Indonesia. Sejak dilaporkan pertama kali pada Juli 2005, jumlah kumulatif kasus FB mencapai 189 dengan 157 kematian. Sementara itu, selama Januari–Mei 2012, jumlah kasus FB yang dilaporkan sebanyak 6 kasus dengan 6 kematian. Tahun ini, provinsi Bengkulu dan NTB melaporkan adanya kasus FB pada manusia.
Di akhir sambutannya Prof. Ghufron menyatakan, Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah influenza pandemic preparedness and response, antara lain Penguatan 100 RS Rujukan Flu Burung; Penguatan epidemiology and virology laboratories; Penerapan sentinel dan pengawasan rutin; Pengembangan vaksin; Pelaksanaan ekologi dan transmisi, spektrum klinis, manajemen penyakit dan molecular genetic; Pelatihan; Membangun koordinasi; dan Pengaturan dan distribusi logistik.
“Indonesia bersama negara berkembang lainnya telah berhasil mewujudkan the fair, transparent, and equitable framework dalam sistem WHO”, tandas Prof. Ghufron.
Kerangka the fair, transparent, and equitable framework tersebut dibentuk Majelis Kesehatan Dunia pada WHA ke-64 tahun 2011 dalam resolusi WHA64.5 tentang Pandemic Influenza Preparedness: Sharing of virus and sharing of vaccines and other benefits. Kerangka ini menjamin hak semua negara berkembang untuk mendapatkan akses yang sama terhadap vaksin yang terjangkau, antivirus, dan diagnostic kit selama pandemi influenza serta dibantu dalam meningkatkan kapasitas produksi vaksin mereka.
Pada kesempatan tersebut, Prof Ghufron juga menyampaikan pentingnya keterlibatan semua pihak, baik di tingkat pusat, daerah maupun sektor swasta dalam upaya kesiapsiagaan pandemi influenza.
Hadir dalam simposium ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dr. Alma Lucyati; Direktur RS Hasan Sadikin, dr. Bayu Wahyudi; dan Chairperson of the Indonesian Influenza Foundation (IIF), Prof. Cissy Kartasasmita.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau alamat e-mail [email protected]