Indonesia memiliki berbagai pengalaman menghadapi sejumlah bencana. Mulai dari banjir, gempa, erupsi gunung api, hingga Tsunami. Dengan latar belakang tersebut, Indonesia melalui Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kesehatan Kemenkes RI, menjadi Pusat Kerjasama WHO untuk Pelatihan dan Penelitian bagi Penanggulangan Bencana (WHO Collaborating Centre for Training and Research in Disaster Risk Reduction), yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan pusat penanggulangan krisis regional. Pusat kerjasama ini juga merupakan wadah bagi penghimpunan pengetahuan dan model penanggulangan krisis kesehatan baik di tingkat nasional maupun global.
Demikian disampaikan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kesehatan Kemenkes RI, dr. Sri Henny Setiawati, MHA, saat menjadi salah satu pembicara pada kegiatan media briefing mengenai Disaster Management di sela-sela agenda kegiatan the 65th WHO SEARO Regional Committee Meeting, Yogyakarta (6/9).
“Indonesia siap membantu dunia, menjadi acuan dunia terkait pelatihan dan penanggulangan bencana. Untuk itu, Kemenkes akan terus mengembangkan informasi intensif, melakukan penelitian, atau kajian dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi”, ujar dr. Henny.
Selanjutnya, Deputy Regional Director World Health Organization (WHO) South-East Asia Region Office (SEARO), Dr. Poonam Khetrapal Singh, menyatakan bahwa meskipun kita dapat berupaya untuk mencegah bencana, namun bencana tetap tidak dapat diperkirakan datangnya. Karena itu, kesiapsiagaan tetap menjadi hal yang utama dalam kegawatdaruratan.
“Dari seluruh kematian karena bencana di dunia antara tahun 2001 hingga 2010, 46 persen terjadi di 11 negara kawasan Asia Tenggara. Karena itu, manajemen penanggulangan bencana (disaster management) menjadi hal yang penting untuk menanggulangi risiko akibat bencana dan kegawatdaruratan”, jelas Dr. Poonam.
Dr. Poonam menyatakn, sejak 2008 telah dibentuk WHO Southeast Asia Regional Health Emergency Fund (SEARHEF). Organisasi ini akan membantu menyediakan dana dalam waktu 24 jam sejak diajukan oleh negara yang memerlukan dengan besar maksimal sebesar US$ 350 ribu.
“Hingga saat ini, dana tersebut telah dimanfaatkan untuk 13 keadaan darurat yang terjadi di kawasan regional SEARO. Kami berharap seluruh negara SEARO dapat bersama-sama ”, kata Dr. Poonam.
SEARHEF dimanfaatkan pertama kali pada tahun 2008 untuk bencana Siklon Nargis. Setelah itu digunakan untuk membangun rumah sakit darurat di Sri Lanka guna merawat korban konflik sipil tahun 2008-2009. Selain dalam situasi bencana, dana tersebut juga digunakan pada kedaruratan lain, seperti untuk penyediaan antibiotik untuk korban luka bakar pada kebakaran besar di Dhaka. Selain itu, juga digunakan dalam penanggulangan banjir di Sri Lanka, untuk pembelian perahu dan pelampung penyelamat dalam banjir di Thailand, serta pengerahan dokter pada hujan badai di Korea Utara tahun 2011.
Di samping itu, salah seorang ahli di bidang kegawatdaruratan kesehatan WHO SEARO, Roderico Ofrin menyatakan kesiapsiagaan bencana harus berfokus pada kekuatan komunitas masyarakat. Komunitas lebih mengenali kondisi lingkungannya sehingga akan lebih siap dalam menghadapi bencana sehingga dapat meminimalisasi jumlah korbannya.
“Tantangan kesiapsiagaan bencana adalah koordinasi. Kami berharap ada koordinasi yang baik dari berbagai pihak untuk menentukan siapa saja yang akan berperan disana, siapa yang akan mengambil keputusan, siapa yang akan menjadi relawan, dan sebagainya,” tandasnya.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021)52907416-9, faksimili: (021)52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dean 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id