Angka harapan hidup penduduk Indonesia meningkat dari 67,7 tahun (2000) menjadi 70,7 tahun (2009). Perkembangan positif tersebut berdampak pada meningkatnya jumlah lanjut usia (Lansia) di Indonesia. Hasil sensus penduduk (2010) menunjukkan bahwa di Indonesia, penduduk lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 18,1 juta. Menurut proyeksi Bappenas, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 29,1 juta (2010) dan 36 juta (2025).
Peningkatan jumlah Lansia tersebut berdampak pada meningkatnya kasus-kasus orthopaedi pada Lansia, termasuk osteoporosis, osteoarthritis, serta trauma pada panggul dan lutut.
Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat membuka kegiatan Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi (Konas PABOI) yang diselenggarakan bersamaan dengan the 32rd Asean orthopaedic Association (AOA) Meeting, Jakarta (21/11).
Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi (Konas PABOI) bertema “Hip and Knee: Current and Future Trends in the Management of Osteoarthritis”.
Pada kesempatan tersebut, dihadiri pula oleh Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie yang menyampaikan pidato untuk mengenang sosok Prof. dr. H. Soelarto Reksoprodjo, Sp.BO, FICS, yang banyak berjasa di bidang Osteoporosis Indonesia.
“Masalah hip and knee terkait dengan kualitas hidup manusia untuk hidup mandiri di semua usia, terutama di usia senja”, ujar Menkes.
Selain masalah lanjut usia, kita juga menghadapi masalah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Mengutip data POLRI (2010) menunjukkan terdapat 69.977 kasus kecelakaan berat, termasuk kasus-kasus orthopaedi. Kecelakaan lalu lintas ini banyak terjadi di jalur utama arus mudik lebaran dan pada kejadian bencana. Di samping itu, di rumah sakit, jumlah kunjungan rawat inap dan rawat jalan pada kasus cedera, muskuloskeletal dan jaringan ikat termasuk dalam 10 kasus terbanyak di Indonesia.
“Keberhasilan tindakan bedah sangat penting dalam mencegah dampak sosial akibat kecacatan”, kata Menkes.
Menkes menyatakan, dewasa ini dari sejumlah 2.076 rumah sakit di Indonesia, terdapat 21 rumah sakit umum dan 2 rumah sakit khusus orthopaedi kelas A yang mampu melaksanakan pelayanan bedah orthopaedi.
“Jumlah ini masih kurang untuk mengatasi masalah. Pemerintah melakukan peningkatan sarana dan prasarana orthopaedi di rumah sakit, yang tentunya memerlukan dan memenuhi kebutuhan tenaga bedah orthopaedi di rumah sakit”, terang Menkes.
Menkes menerangkan, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi maslaah kesehatan termasuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat kecelakaan pada periode arus mudik dengan melakukan upaya penyuluhan, pencegahan, dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Sejak tahun 2000, konsep Masyarakat yang sehat dan aman atau save community, telah dilaksanakan di Indonesia. Pada tahun 2012, sistem ini diperkuat dengan memperkuat mekanisme layanan gawat darurat yang dimulai di masyarakat sampai di rumah sakit. Sistem yang diperkuat ini disebut Sistem Penanggulangan gawat Darurat terpadu (SPGDT).
Pada kesempatan tersebut, Menkes mengharapkan partisipasi PABOI memperkuat SPGDT sebagai active responder atau penerima korban dan sebagai bagian dari Disaster Hospital Networking.
Selanjutnya, Menkes memberikan apresiasi kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan traumatologi (PABOI) yang telah mengembangkan inovasi tindakan minimally invasive orthopaedic surgery. Selain itu, PABOI juga aktif melakukan penapisan teknologi atau helath technology assessment, sehingga pelayanan orthopaedi, termasuk kasus-kasus orthopaedi panggul dan lutut yang semula mahal, dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Menkes juga berpesan agar PABOI dapat senantiasa memperhatikan mutu pelayanan kesehatan agar berfokus pada pasien (patient centeredness) dengan pilar utama keselamatan pasien (patient safety) dan mendukung terwujudnya pelayanan kesehatan kelas dunia, melalui akreditasi berstandar internasional.
“Saya tekankan kepada profesi orthopaedi agar dapat lebih berperan pada upaya promotif-preventif, disamping upaya kuratif-rehabilitatif”, tegas Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id.