Di era globalisasi, yang ditandai dengan persaingan bebas di bidang ekonomi, suatu bangsa akan unggul bila ada kemajuan Iptek. Inovasi teknologi merupakan bagian penting dalam memajukan Iptek. Bahkan, dalam laporan World Competitiveness Index, inovasi merupakan pilar ketiga dalam menentukan daya saing bangsa.
Dalam tulisan ini saya hanya akan membatasi inovasi teknologi kesehatan. Untuk memudahkan bahasan, kita batasi juga inovasi terkait obat dan alat kesehatan. Setiap orang tentunya berhak untuk melakukan penelitian untuk menemukan obat dan alat kesehatan. Persoalannya, bagaimana mengembangkan obat dan alat kesehatan sesuai standar dan akhirnya bisa diterima oleh pengguna.
Obat dan alat kesehatan modern
Yang dimaksud dengan obat dan alat kesehatan modern di sini adalah obat dan alat kesehatan yang bisa digunakan di fasilitas kesehatan formal. Fasilitas kesehatan formal mencakup dokter praktik, klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Pelaku pelayanan kesehatan di fasilitas tersebut tentunya tenaga medis (dokter) dan penunjang medis (perawat, bidan, dan sebagainya).
Sesuai dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran seorang dokter dalam memberikan pelayanan harus mengacu pada standar pelayanan. Standar pelayanan pada dasarnya pilihan terbaik untuk pasien seuai dengan perkembangan ilmu.
Pilihan terbaik ini didasarkan pada pelayanan pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine). Prinsip ini juga dipakai oleh lembaga otoritas, yakni Badan POM dan Ditjen Faralkes, untuk memberikan ijin edar obat dan alat kesehatan modern.
Baik obat maupun alat kesehatan, sebelum dapat digunakan oleh tenaga kesehatan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin edar. Untuk mendapatkan ijin edar harus memenuhi syarat cara pembuatan yang baik (good manufacturing practice) dan bukti klinis sesuai indikasinya.
Ambil contoh kasus jaket anti kanker Warsito. Karena jaket Warsito diindikasikan untuk terapi kanker, maka sesuai dengan PERMENKES No. 1190/2010 tentang ijin edar alat kesehatan dan PKRT, jaket ini termasuk alat kelas III. Sebelum bisa dipakai oleh tenaga medis, alat kelas III harus mempunyai bukti klinis yang kokoh, di samping tentunya pembuatannya juga baik (good manufacturing practice).
Untuk mendapatkan bukti klinis tiada cara lain kecuali dengan penelitian. Penelitian untuk mendapatkan bukti klinis harus melalui pentahapan sesuai standar. Setiap tahapan juga mengandung metodologi ilmiah sesuai tujuan pembuktian.
Kaidah pembuktian bertahap ini merupakan prinsip pengembangan obat dan alat kesehatan yang dapat diterima oleh ilmu kedokteran. Pentahapan mencakup uji pra-klinik dan uji klinik.
Untuk alat kesehatan, tahapan pra-klinik mencakup disain alat, uji in-vitro, dan uji hewan coba.
Untuk obat mencakup identifikasi senyawa kandidat, uji in-vitro, dan uji hewan coba. Setelah ada bukti kuat secara kumulatif, barulah masuk uji klinik (uji pada manusia).
Uji klinik mencakup fase 1, 2 dan 3. Fase 1 untuk melihat efek obat atau alat pada tubuh manusia (keamanan); fase 2 untuk melihat khasiat awal; dan fase 3 untuk melihat efektivitas obat atau alat pada jumlah pasien yang lebih banyak. Bukti ilmiah kumulatif pra-klinik dan klinik inilah yang mengantar suatu obat atau alat untuk mendapatkan ijin edar dan bisa digunakan oleh tenaga kesehatan dalam pelayanan pengobatan. Secara umum, sampai mendapatkan ijin edar, akan memakan waktu untuk riset 10-15 tahun.
Konsorsium
Dalam inovasi obat dan alat kesehatan, pendekatan yang selama ini dianggap tepat adalah “triple helix”. Pendekatan ini menghimpun peneliti (akademisi), pemerintah (regulator), dan bisnis (industri farmasi) menjadi entitas yang bersinergi. Agar ketiga elemen ini menjadi entitas yang saling bersinergi, maka untuk mengawal inovasi ada baiknya dibentuk konsorsium yang melibatkan peneliti (akademisi), lembaga otoritas (Kemenkes dan Kemenristekdikti) dan bisnis (Industri Farmasi dan Alat Kesehatan).
Dalam dunia pengembangan obat atau alat kesehatan modern terdapat dua wilayah dengan demarkasi yang jelas. Dua demarkasi tersebut adalah wilayah pra-klinik dan wilayah klinik. Penelitian pada wilayah pra-klinik adalah berkaitan dengan ilmu dasar.
Dengan demikian, riset wilayah pra-klinik membutuhkan kepakaran ilmu biologi, patologi, fisika medik, onkologi, farmasi, farmakologi, dan sejenisnya. Sementara penelitian wilayah klinik, mau tidak mau harus melibatkan tenaga medis (dokter) sesuai dengan bidang keahliannya (spesialisasinya).
Banyak contoh bagaimana mengawal inovasi teknologi kesehatan secara baik. Untuk obat anti kanker, penemuan Paclitaxel (Taxol) adalah contoh yang baik. Paclitaxel adalah obat kemoterapi untuk kanker payudara, indung telur, paru, juga sarkoma Kaposi. Bahan aktif ini diisolasi dari tanaman sejenis pinus (Taxus brevifolia) di pantai timur Amerika Serikat.
Sejarah pengembangan Taxol menunjukkan sinergisme yang bagus antara peneliti ilmu tumbuhan dari U.S. Department Agriculture, peneliti kanker dari National Cancer Insitute di bawah NIH, dan industri farmasi Bristol-Myers Squibb (BMS). Senyawa kandidat anti kanker ini ditemukan oleh sarjana pertanian, kemudian dilakukan riset pra-klinik oleh lembaga riset kanker, dan setelah menjadi prototipe dikembangkan oleh industri farmasi melalui tahapan uji klinik yang baik.
Contoh lain adalah saudara kembar temuan Warsito, yakni Tumor Treating Field (TTF) yang dikembangkan oleh perusahaan Novocure. Alat TTF yang dikembangkan Novocure juga menggunakan medan listrik statis. Bedanya, jaket Warsito tidak menempel di kulit, alat TTF menempel di kulit. Pada awalnya alat TTF juga dikembangkan oleh seorang ahli fisika. Kemudian setelah melihat ada potensi sebagai modalitas terapi kanker, dilakukanlah uji klinik dengan menggandeng para dokter di bidangnya. Bahkan, Novo-TTF-100 sudah mendapatkan persetujuan FDA untuk Glioblastoma Multiforme.
Dari apa yang telah diuraikan, pointers berikut harus menjadi pemahaman bersama. Pertama, praktik kedokteran pada dasarnya menggunakan modalitas terapi yang sudah mempunyai bukti klinis (evidence based medicine). Kedua, lembaga otoritas (Badan POM, Ditjen Faralkes) akan memberikan ijin edar obat atau alat kesehatan setelah ada bukti ilmiah kumulatif yang kuat. Ketiga, untuk pengembangan obat dan alat kesehatan modern harus melalui tahapan riset yang kokoh. Agar kesemuanya itu berjalan dengan baik, maka perlu komitmen dan sinergi lintas pemangku kepentingan. Semoga ke depan semakin sinergi.
—
*Dr. Siswanto, MHP, DTM, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI