Periode 1000 hari pertama sering disebut window of opportunities atau sering juga disebut periode emas (golden period) didasarkan pada kenyataan bahwa pada masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi proses tumbuh kembang yang sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain.
Demikian sambutan Menteri Kesehatan RI yang dibacakan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, PhD, pada kegiatan Diskusi Kegiatan Lintas Sektoral Terkait Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dalam upaya Kerja sama Lintas Sektoral demi Percepatan Pencapaian Tujuan Millenium Development Goals (MDG) 4 dan 5 di Kantor Kemenkes RI, Jakarta (14/8). Kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk MDG’s, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, dan Country Director Save The Children Indonesia, Ricardo Caivano.
Periode awal kehidupan juga sering disebut periode sensitif. Perkembangan sel-sel otak manusia pada masa tersebut sangat menentukan, sehingga bila terjadi gangguan pada periode tersebut akan berdampak permanen, tidak bisa diperbaiki.
“Karena itu, intervensi yang tepat pada kelompok tersebut sangat berdampak besar pada kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depannya”, ujar Menkes.
Menurut Menkes, istilah 1000 hari pertama kehidupan atau the first thousand days mulai diperkenalkan pada 2010 sejak dicanangkan Gerakan Scalling-up Nutrition di tingkat global. Hal ini merupakan upaya sistematis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk memberikan perhatian khusus kepada ibu hamil sampai anak usia 2 tahun, terutama kebutuhan pangan, kesehatan, dan gizinya.
“Gagal tumbuh pada periode 1000 hari pertama kehidupan, selain akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik, juga akan menyebabkan gangguan metabolik, khususnya gangguan metabolism lemak, protein dan karbohidrat yang pada akhirnya dapat memicu munculnya penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung koroner pada usia dewasa”, jelas Menkes
Menkes menyatakan, prevalensi gizi kurang pada anak balita sebesar 17,9 persen. Untuk mencapai target sasaran MDG’s pada 2015 harus diturunkan menjadi 15,5 persen. Permasalahan kekurangan gizi mikro seperti kurang vitamin A (KVA), anemia gizi pada balita, serta kekurangan yodium sudah dapat dikendalikan, sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyarakat.
Mengutip data hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, ditemukan disparitas masalah gizi kurang antar provinsi. Beberapa provinsi memiliki prevalensi gizi kurang di bawah 15 persen, seperti Sulawesi Utara, Yogyakarta, Bali, Jakarta, dan Jawa Barat. Sementara beberapa provinsi lainnya memiliki prevalensi gizi kurang yang masih tinggi, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat.
Menkes menambahkan, masalah gizi lain yang harus diantisipasi adalah mulai meningkatnya prevalensi balita gemuk. Dalam kurun waktu 3 tahun dari 2007 hingga 2010, prevalensi anak yang mengalami kelebihan berat badan meningkat dari 12,2 persen menjadi 14,3 persen. Pada usia dewasa, prevalensi gizi lebih bahkan sudah mencapai 21 persen.
“Selain itu, yang masih menjadi masalah utama saat ini adalah tingginya prevalensi anak pendek (stunting). Saat ini, sekira 35 persen anak-anak kita, tinggi badanya tidak sesuai dengan usianya”, kata Menkes
Hal lainnya, Menkes memaparkan, sebagai wujud komitmen pemerintah, telah ditetapkan strategi prioritas mulai tahun 2012 sampai 2014. Terkait dengan upaya perbaikan gizi pada 1000 hari kehidupan, telah ditetapkan beberapa kebijakan, diantaranya: Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kehamilan dan persalinan; Melakukan sosialisasi dan pemantauan pelaksanaan UU nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan PP nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif; Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan melalui penyediaan dukungan tenaga, penyediaan obat gizi dan suplementasi yang cukup; Meningkatkan kegiatan edukasi kesehatan dan gizi melalui budaya perilaku hidup bersih dan sehat; serta dengan meningkatkan komitmen berbagai pemangku kepentingan terutama lintas sektor, dunia usaha serta masyarakat untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan pangan tingkat keluarga.
Dalam sambutannya, Menkes mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang menyiapkan Gerakan Nasional Sadar Gizi yang tujuan utamanya adalah menyamakan persepsi, pemahaman, serta meningkatkan komitmen segenap pemangku kepentingan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan dasar, terutama pangan, kesehatan dan gizi pada ibu hamil dan anak di bawah usia dua tahun.
“Mudah-mudahan diskusi ini dapat memberikan pemikiran-pemikiran alternatif dalam implementasinya di lapangan”, tandas Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC):