Jakarta, 15 November 2018
Keberadaan sektor industri berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, keberadaan industri juga dapat menimbulkan negative externality yaitu dampak yang dirasakan masyarakat sebagai akibat dari aktifitas industri, misalnya limbah dan polusi, serta masalah sosial terkait perlindungan HAM. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewan HAM PBB secara aklamasi mengesahkan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights atau panduan prinsip-prinsip mengenai pelaksanaan bisnis yang menghormati HAM, yang mencakup tiga pilar utama, yaitu: protect, respect dan remedy.
“Pemerintah mempunyai tanggung jawab memberikan perlindungan bagi masyarakat dari pelanggaran HAM (protect), pemerintah memastikan agar pelaku bisnis dapat menghormati HAM (respect), serta menjamin akan adanya akses pemulihan (remedy) bagi korban pelanggaran HAM,” tutur Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, drg. Oscar Primadi, MPH, saat membuka kegiatan Seminar Bisnis dan HAM pada Sektor Kesehatan Tahun 2018 di ruang Siwabessy Kemenkes, Kamis (15/11).
Seminar yang bertujuan untuk meningkatkan public awareness para pelaku bisnis, serta stakeholders kesehatan dalam hal perlindungan dan penghormatan HAM tersebut dihadiri oleh Marzuki Darusman, Dubes Makarim Wibisono, Rafendi Djamin, Dr. Les Dina Liastuti (Dirut RSCM), F. Tirto Koesnadi (Ketua Umum GP Farmasi), dan Ahyahudin Sodri (Executive Manager ASPAKI), serta diikuti lebih dari 120 peserta yang berasal dari Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan, perwakilan dari perusahaan farmasi dan alat kesehatan BUMN, Dinas Kesehatan Provinsi, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), dan Gabungan Pengusaha Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (ASPAKI).
Secara khusus apabila kita mencermati perkembangan industri kesehatan, Indonesia merupakan new emerging country di bidang farmasi dan sedang mengalami perluasan jenis-jenis alat kesehatan yang diproduksi. Diperkirakan, nilai pasar industri kesehatan Indonesia yang mencakup farmasi dan alat kesehatan, bernilai 21 Milyar dollar Amerika pada tahun 2019. Pada tahun 2014, pasar farmasi Indonesia berada pada peringkat 23 dunia, dan ditargetkan akan berada di peringkat 19 pada tahun 2020. Di tingkat regional, pasar farmasi Indonesia menguasai kurang lebih 27% dari total pasar farmasi ASEAN, dengan sekitar 70% diantaranya didominasi oleh perusahaan nasional.
“Data Kemenkes pada akhir 2017 mencatat industri alat kesehatan dalam negeri mengalami peningkatan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir,” ungkap Oscar.
Tahun 2015-2016 dari 193 menjadi 215 industri farmasi (meningkat 11,4%). Tahun 2016-2017 dari 215 menjadi 241 industri farmasi (meningkat 12,6%).
Selain itu, Pemerintah juga mendorong akreditasi sarana pelayanan kesehatan, baik secara nasional maupun internasional. Berdasarkan data Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) bulan Desember 2017 diketahui terdapat 1.481 rumah sakit telah terakreditasi secara nasional dan menurut data Joint Commission International (JCI) pada bulan Desember 2017 terdapat 25 rumah sakit di Indonesia yang sudah terakreditasi internasional, terdiri dari 10 Rumah Sakit Pemerintah dan 15 Rumah Sakit Swasta. Akreditasi RS mencakup pengaturan terhadap penghormatan HAM tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat luas.
“Pesatnya perkembangan pasar industri kesehatan, tentu harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban dalam perlindungan dan penghormatan terhadap HAM,” tegas Oscar.
Sementara itu, dalam industri farmasi, obat diproduksi dengan memenuhi persyaratan tertentu, yang disebut Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pemenuhan terhadap CPOB akan menjamin obat yang dihasilkan sesuai dengan standard yang ditetapkan dan sekaligus mengatur perlindungan terhadap berbagai aspek yang memberikan penghormatan terhadap HAM.
“Penghormatan dan perlindungan HAM terkait kesehatan merupakan variable penting dalam peningkatan kinerja pekerja dan lebih jauh lagi sebagai bentuk dukungan terhadap generasi penerus bangsa,” tandasnya.
Universal Declaration of Human Rights diantaranya mengamanatkan agar setiap orang, termasuk pekerja memiliki hak untuk kehidupan yang layak agar dapat hidup sehat, mengakses pelayanan medis, serta mendapatkan dukungan dan pelayanan khusus bagi ibu dan anak. Untuk itu, selain aspek keselamatan kerja, perlu dipastikan pemenuhan kesehatan pekerja, diantaranya memastikan para pekerja dan keluarganya memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, mendukung hak reproduksi, serta memastikan asupan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Secara khusus disampaikan bahwa sarana pelayanan kesehatan memiliki kerentanan pada isu-isu spesifik, seperti risiko tertular penyakit jika tidak menerapkan universal precaution secara optimal.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM