Hasil sampling tahun 2012 sampai pertengahan 2015 terhadap pembalut wanita yang beredar di pasaran tidak menemukan pembalut yang melanggar persyaratan. Terhadap produk-produk tersebut dilakukan uji kesesuaian terus menerus secara berkala selama produk tersebut beredar. Ini dilakukan dalam rangka post market surveillance melalui sampling dan pengujian ulang.
Demikian penjelasan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, Apt dalam acara Jumpa Pers di Jakarta (8/7).
Menurut Linda, apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi syarat, Kementerian Kesehatan akan memerintahkan produsen/distributor untuk menarik produk tersebut dari pasaran, dan mengharuskan produsen melakukan Corrective Action, Preventive Action (CAPA) dan recall.
“Kementerian Kesehatan menyarankan kepada YLKI untuk memberikan klarifikasi terhadap temuannya dengan metode uji yang digunakan dalam pengujian kadar chlorine pada pembalut wanita dan menjelaskan lebih detil wujud dan senyawa kimia dari chlorine yang ditemukan,” kata Linda.
Menurut Linda, 9 pembalut dan 7 pantyliners yang dikabarkan tidak aman sesungguhnya sudah memiliki ijin edar dan telah melewati uji keamanan, mutu dan kemanfaatan produk dari laboratorium yang terakreditasi. Untuk memastikan suatu keamanan produk kesehatan, masyarakat dapat melihat ijin edar AKL atau AKD yang tercantum pada kemasan atau mengeceknya melalui www.infoalkes.kemkes.go.id.
Dalam memberikan izin edar, Kementerian Kesehatan mewajibkan setiap pembalut wanita harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI 16-6363-2000 tentang pembalut wanita yaitu terhadap daya serap minimal 10 kali dari bobot awal dan tidak berfluoresensi kuat.
Sesuai dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, pembalut wanita termasuk alat kesehatan dengan risiko rendah yang harus mendapat izin edar sebelum beredar di wilayah Indonesia. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi US FDA, dimana produk dengan risiko rendah hanya memberikan dampak minimal terhadap kesehatan pengguna.
Pembalut wanita adalah produk yang berbentuk lembaran/pad terbuat dari bahan selulose atau sintetik yang digunakan untuk menyerap cairan menstruasi atau cairan dari vagina.
Fluoresensi adalah uji yang dilakukan untuk melihat adanya chlorine yang terdapat dalam pembalut. SNI mensyaratkan hasil uji tidak berfluoresensi kuat atau tidak ada flouresensi yang menunjukkan kontaminasi. US FDA Guidance menyatakan bahwa masih diperbolehkan adanya jejak residu chlorin pada hasil akhir pembalut wanita. Pengujian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi antara lain PPOMN dan Sucofindo.
Pada proses produksinya pembalut wanita yang berasal dari selulose dilakukan proses bleaching/pemutihan.
Metode bleaching yang dibolehkan sesuai dengan Guidance US FDA adalah Elemental Chlorine-Free (ECF) Bleaching dan Totally Chlorine-Free (TCF) Bleaching. EFC Bleaching adalah pemutihan yang tidak menggunakan elemen gas chlorine. Metode ini menggunakan chlorine dioxide sebagai agen pemutihan, dan dinyatakan bebas dioksin. Sementara TFC Bleaching adalah pemutihan yang tidak menggunakan senyawa chlorine, biasanya menggunakan Hidrogen Peroksida. Metode ini dinyatakan bebas dioksin.
Dioksin adalah senyawa pencemar lingkungan yang dapat mempengaruhi beberapa organ dan sistem dalam tubuh. Sifat dioksin adalah larut dalam lemak dan dapat bertahan dalam tubuh karena stabilitas kimianya. Zat Dioksin akan dilepaskan melalui proses penguapan dengan suhu sangat tinggi yaitu 446,5 °C.
Kementerian Kesehatan melarang penggunaan gas Chlorin dalam proses bleaching/pemutihan terhadap bahan baku yang digunakan untuk pembalut wanita karena penggunaan gas chlorine dapat menghasilan senyawa dioksin yang bersifat karsinogenik. Bahan baku pembalut wanita yang diizinkan untuk digunakan harus menggunakan metode EFC atau TFC tersebut di atas dan tidak diperbolehkan menambahkan chlorine selama proses produksi.
Kekhawatiran terhadap chlorine yang menyebabkan kanker tidak beralasan karena semua pembalut wanita yang beredar di pasaran telah memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan serta dilakukan pengawasan rutin melalui pengujian ulang.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.