Pertimbangan pemerintah dalam melindungi anak terhadap dampak tembakau yaitu rokok beserta zat adiktif yang dikandungnya merupakan landasan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan masalah rokok. Undang-undang nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 59 dan 67 menyatakan secara tegas bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, dimana salah satunya adalah anak yang menjadi korban penyalahgunaan zat adiktif, termasuk rokok.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, melalui surat elektroniknya kepada Pusat Komunikasi Publik, (15/9).
“Undang-undang Nomer 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 113 ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau”, ujar Prof. Tjandra.
Prof. Tjandra menambahkan, pada pasal 67 Undang-undang perlindungan anak menyatakan perlindungan khusus terhadap bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif melalui kegiatan pencegahan, pemulihan kesehatan fisik dan mental serta pemulihan sosial.
“Dalam hal pencegahan, upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menjauhkan anak dari akses rokok, perlindungan dari sasaran pemasaran industri rokok (dengan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok), pemberian informasi yang benar tentang bahaya rokok (edukasi, peringatan kesehatan bergambar ) dan perlindungan dari terpapar asap rokok”, jelas Prof. Tjandra.
Lebih lanjut, Prof. Tjandra menerangkan bahwa Pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi Kesehatan.
“Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut mengatur implementasi penerapan pasal-pasal mengenai pengendalian produk tembakau secara lebih terperinci. Hal fundamental yang ingin dicapai melalui RPP adalah perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia dari dampak buruk rokok dan produk tembakau lainnya”, terang Prof. Tjandra.
Prof Tjandra menerangkan, hal-hal yang diatur dalam RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu: Pencantuman peringatan bahaya kesehatan berupa gambar dan tulisan sebesar 40% pada masing-masing sisi depan dan belakang pada bungkus rokok; Larangan pencantuman informasi yang menyesatkan, termasuk kata light, ultralight, mild, extra mild, low tar, slim, full flavor dan sejenisnya; Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), termasuk ketentuan bahwa tempat khusus untuk merokok di tempat kerja dan tempat umum, harus merupakan terbuka dan berhubungan langsung dengan udara luar; Larangan iklan, promosi dan sponsorship; serta pengendalian iklan produk tembakau dan iklan di media penyiaran, karena berbagai studi yang menunjukkan sasaran iklan adalah anak-anak dan remaja.
“Hal yang perlu digarisbawahi adalah RPP ini merupakan sebuah perlindungan bagi anak-anak dan ibu hamil. RPP ini mengatur penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun. Pelarangan ini dimaksudkan untuk mempersempit jangkauan anak untuk memperoleh produk tembakau serta menghindarkan penjualan kepada anak dibawah umur”, tambah Prof. Tjandra.
Prof. Tjandra menyampaikan, menurut data hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011, persentase perokok aktif di Indonesia mencapai 67% (laki-laki ) dan 2.7% (perempuan) dari jumlah penduduk, terjadi kenaikan 6 tahun sebelumnya perokok laki-laki sebesar 53 %. Data yang sama juga menyebutkan bahwa 85.4% orang dewasa terpapar asap rokok ditempat umum, di rumah (78.4%) dan di tempat bekerja (51.3%).
“Mereka yang merokok dirumah sama dengan mencelakakan kesehatan anak dan istri”, tegas Prof. Tjandra.
Dengan diterbitkannya Undang-undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan khusunya pasal 113 sampai pasal 116 jelas menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya pengendalian dampak tembakau. Selanjutnya, penyebarluasan strategi perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 88/Menkes/PB/I/2011, nomor 7 tahun 2011 disepakati bahwa salah satu tatanan kawasan tanpa rokok adalah tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, dan tempat-tempat umum yang dapat diakses oleh masyarakat umum, termasuk anak-anak.
“Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok, telah diidentifikasi sebagai intervensi efektif di tingkat daerah dalam strategi pengendalian penyakit tidak menular (PTM). Ditergetkan dapat mencakup 497 Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan 100% Bebas Asap Rokok pada 2014”, ujar Prof. Tjandra.
Dalam upaya pengendalian tembakau, upaya advokasi perlu dirancang, diantaranya melalui pemberdayaan masyarakat dan legislasi Peraturan Daerah (PERDA). Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 telah melakukan advokasi ke beberapa provinsi dan kabupaten/kota terkait pengembangan KTR.
“Sampai dengan saat ini sekitar 76 Kabupaten/Kota yang telah diadvokasi. beberapa diantara Kabupaten/Kota tersebut telah menyampaikan keinginannya untuk mengembangkan kebijakan terkait pengembangan KTR. Saat ini tercatat sudah sekitar 32 Kabupaten/Kota memiliki kebijakan KTR, serta 3 Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Sumatera Barat”, kata Prof. Tjandra.
Kemenkes juga menyelenggarakan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) setiap tahun dengan berbagai variasi acara/event anti merokok yang diminati oleh generasi muda. Selain itu, tengah dikembangkan dan dikumandangkan ”Gerakan Sekolah Sehat Tanpa Asap Rokok” bersama Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
“Hal yang sangat butuh diperjuangkan adalah perlindungan generasi muda dari gencarnya iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat mempengaruhi keiinginan generasi muda untuk mulai merokok”, tandas Prof. Tjandra.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021)52907416-9, faksimili: (021)52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dean 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id