Jakarta, 19 Februari 2019
Stunting masih menjadi permasalahan yang cukup serius di Indonesia, padahal Indonesia adalah negara penghasil sampah makanan nomor dua di dunia.
Kekurangan gizi kronis sejak bayi di dalam kandungan memaksa pemerintah mengambil kebijakan guna menurunkan angka stunting di Indonesia. Mengatasi masalah stunting di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan saja. Perlu adanya bantuan dan koordinasi dari beberapa Kementerian/Lembaga.
“Saya rasa ini benar membuat tidak ada lagi stunting, karena kita harusnya tidak ada lagi stunting, di negara yang satu sisi membuang makanan terbanyak di dunia di satu sisi kita masih ada stunting,” lanjut Menkes.
Pola hidup sehat juga harus dimulai dari masing-masing individu misalnya dengan memperhatikan porsi makan sesuai dengan Isi Piringku. Hal ini perlu dukungan dari lintas sektor baik Kementerian/Lembaga untuk sama-sama membantu merubah mindset masyarakat agar hidup sehat. Selain itu, salah satu upaya dalam pemenuhan zat gizi mikro adalah Fortifikasi pangan. Hal ini merupakan intervensi yang terbukti “cost-effective” karena dilakukan melalui bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat secara luas terutama penduduk tidak mampu dengan return of investment (RoI) yang menjanjikan dan biaya yang relatif lebih rendah.
“Masa depan Indonesia tergantung dari kualitas sumber daya manusia dan fortifikasi telah terbukti sebagai intervensi yang cost-effective untuk mendukung penguatan sumber daya manusia tersebut” tambah Bambang Brodjonegoro Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia.
Menurut Nila, Kementerian kesehatan tidak mungkin dapat mengatasi stunting tanpa dibantu oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Kementerian/Lembaga lainnya
Pada Workshop Nasional Fortifikasi Pangan untuk hadapi stunting di Jakarta (19/2), Menkes Nila Moeloek menekankan pentingnya mengatasi stunting dimulai dari hulu. Tidak semata-mata meningkatkan kualitas gizi di 1000 hari kehidupan tetapi dimulai sejak masa remaja perlu mendapatkan gizi yang baik agar menjadi ibu hamil yang sehat.
“Generasi muda kita sebenanya mau kemana? Apakah mereka mengerti bagaimana memberikan kehidupan yang baik, kita bisa melihat, tidak hanya ibu hamil tapi kami menginginkan ini dimulai dari masa remaja,” tambah Menkes.
Kita dapat melihat bahwa hidden hunger ini bisa dilihat di ujungnya terutama kaum perempuan yang juga mengalami kekurangan zat besi, anemia baik di usia remaja maupun kehamilan.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukan adanya peningkatan jumlah anemia pada remaja dan ibu hamil yang artinya dapat meningkatkan risiko angka kematian ibu.
Solusi guna menekan angka anemia ini adalah pemberian multivitamin atau tablet tambah darah pada remaja perempuan. Namun masih banyak remaja dan ibu hamil yang belum paham bagaimana mengonsumsi tablet tambah darah ini.
Selain fortifikasi pangan, penting juga bagi kita untuk mengubah mindset masyarakat dalam pengolahan makanan. Fortifikasi pangan juga harus memperhatikan jumlah kandungan di dalamnya jangan sampai masyarakat justru kelebihan zat-zat tertentu pada tubuh yang akan menimbulkan PTM.
“Harus parallel dengan perilaku masyarakat, bukan hanya fortifikasi, tetapi perilaku dan pola makan,” kata Menkes.
Perlu juga adanya upaya untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan dalam negeri termasuk eksplorasi sumber pangan lain yang beragam dan bergizi tinggi, pengembangan multi micro nutrient (MMN), dan biofortifikasi untuk memperkaya kandungan gizi pada tanaman pangan, serta intervensi-intervensi lain.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].(AP)
Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM