Indonesia mulai menghadapi pola penyakit baru, yaitu meningkatnya kasus penyakit tidak menular yang dipicu berubahnya gaya hidup masyarakat seperti pola makan rendah serat dan tinggi lemak serta konsumsi garam dan gula berlebih, kurang aktivitas fisik (olahraga) dan konsumsi rokok yang prevalensinya terus meningkat, ujar Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH pada acara puncak peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Taman Lalu Lintas Cibubur, Jakarta Timur beru-baru ini.
Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi merokok di Indonesia naik dari tahun ke tahun. Persentase pada penduduk berumur > 15 tahun adalah 35,4 persen aktif merokok (65,3 persen laki-laki dan 5,6 persen wanita), artinya 2 di antara 3 laki-laki adalah perokok aktif.
Kecenderungan peningkatan jumlah perokok tersebut membawa konsekuensi jangka panjang, karena rokok berdampak terhadap kesehatan. Dampak kesehatan dari konsumsi rokok telah diketahui sejak dahulu.
Ada ribuan artikel yang membuktikan adanya hubungan kausal antara penggunaan rokok dengan terjadinya berbagai penyakit kanker, penyakit jantung, penyakit sistem saluran pernapasan, penyakit gangguan reproduksi dan kehamilan. Hal ini tidak mengherankan karena asap tembakau mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 43 bahan penyebab kanker (karsinogenik).
Terpapar di Rumah Sendiri
Saat ini semakin banyak generasi muda yang terpapar asap rokok tanpa disadari terus menumpuk menjadi zat toksik dan karsinogenik yang bersifat fatal.
“Kondisi kesehatan yang buruk di usia dini akan menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa. Lebih bahaya lagi 85,4 persen perokok aktif merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam kesehatan anggota keluarga lainnya,” tegas Menkes.
Lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif. Menurut data The Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2006, 6 dari 10 pelajar di Indonesia terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Sebesar 37,3 persen pelajar dilaporkan biasa merokok, dan 3 di antara 10 pelajar pertama kali merokok pada usia di bawah 10 tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak dan kaum muda semakin dijejali dengan ajakan merokok oleh iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat gencar.
“Padahal, iklan sudah dilarang pada banyak negara di dunia termasuk di negara-negara ASEAN. Oleh karena itu tema HTTS tahun ini sangat tepat untuk mengingatkan agar kita dapat mengambil peran yang lebih besar guna melindungi generasi muda dari sifat fatalistik penggunaan dan paparan asap rokok,” ujar Menkes.
Kawasan Tanpa Rokok
Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 tanggal 21 Mei 2003 di Jenewa, 192 negara anggota WHO dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC). Tujuannya, melindungi generasi muda sekarang dan mendatang dari masalah kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi rokok dan paparan asap rokok.
”Walaupun belum meratifikasi FCTC, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam pengendalian masalah kesehatan akibat tembakau/rokok, yaitu: Mengembangkan regulasi pengendalian tembakau; Membangun jejaring kerja dengan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat madani dalam pengendalian tembakau; Melakukan inisiasi pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah; Mengembangkan KIE melalui media masa; Melakukan peningkatan kapasitas tingkat nasional dan lokal, dan membentuk Aliansi Bupati Walikota dalam pengendalian tembakau dan penyakit tidak menular”, kata Menkes.
DKI Jakarta dan pemerintah daerah lainnya juga telah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Peraturan Daerah. Saat ini telah ada 25 Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia yang memiliki kebijakan/peraturan terkait KTR.
Upaya perlindungan generasi muda terhadap bahaya rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat madani, LSM, Akademisi, Parlemen maupun Pemerintah dan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat.