Jakarta, 23 Juli 2018
Hari Anak Nasional (HAN) jatuh setiap tanggal 23 Juli dilaksanakan sebagai upaya pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, kembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Peringatan HAN 2018 mengusung tema “Aku Anak Indonesia, Aku anak GENIUS (Gesit, Empati, Berani, Unggul, dan Sehat), Tumbuh Kembang Optimal”. Tema ini diangkat sebagai bentuk pemenuhan tumbuh kembang dan perlindungan anak dengan membangun gerakan bersama yang melibatkan semua pihak untuk menjadikan anak Indonesia Genius (Gesit, Empati, Berani, Unggul dan Sehat) dan memiliki Tumbuh Kembang Optimal.
Setiap anak memiliki potensi yang sama untuk bertumbuh dan berkembang dengan normal bila kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan ini meliputi asih (kasih sayang dan perhatian), asah (stimulasi dan keterampilan), serta asuh (kebutuhan sandang, pangan, papan).
Tidak hanya itu anak perlu stimulasi, hal ini penting untuk diterima anak terutama di 1000 hari pertama kehidupannya. Stimulasi diperlukan untuk menunjang sel-sel pertumbuhan. Selain itu, stimulasi dapat membantu perkembangan pusat sensori, pusat bahasa, dan fungsi kognitif anak. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk memberikan stimulasi pada anak. Mulai dari mengajaknya berbicara, bermain di luar ruangan, hingga mengambil keputusan.
Akan tetapi, sebelum memberikan stimulasi, penting dan perlu bagi orangtua untuk memahami tahap perkembangan anak. Jangan sampai ada fase perkembangan yang terlewati.
“Baiknya anak melewati fase perkembangan. Sebab bila ada satu saja fase yang terlewatkan, dapat memberikan dampak negatif pada anak di kemudian hari,” ungkap dokter spesialis anak, dr Eva Devita, Sp.A (K), Senin (23/7/2018) di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta Barat.
Selain itu di sela-sela seminar Hari Anak Nasional 2018 bertema “Anak Indonesia, Anak Genius (Gesit, Empati, Berani, Unggul, Sehat) dan Tumbuh Kembang Optimal”, dr Eva mencontohkan tentang tahapan perkembangan pada bayi. Mulai dari tengkurap, menegakkan kepala, duduk, merangkak, berdiri, hingga berjalan. Semua fase ini harus terlewati sesuai dengan usia bayi.
Pada beberapa bayi, ada yang melewati fase merangkak dan langsung bisa berjalan. Ada pula yang tidak bisa merangkak secara normal melainkan bergerak dengan cara mengesot. Mungkin ada orangtua yang tidak mempermasalahkan hal tersebut karena melihat anaknya tetap bisa berjalan. Padahal ini adalah anggapan yang salah kaprah.
“Kondisi ini menjadi masalah karena bisa membuat otot paha, panggul, lutut, dan bahu menjadi tidak kuat,” ucap dr Eva.
Dirinya menyarankan bila ada bayi yang fasenya demikian, orangtua harus membalikkan posisi bayi menjadi merangkak kembali. Sebab, bayi tetap harus melewati fase tersebut. Bila perlu, orangtua melakukan konsultasi ke dokter.
“Mungkin saja ada masalah di ototnya atau yang lain, kita tidak tahu kalau tidak diperiksa,” pungkasnya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (Tri)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM