Jakarta, 18 Januari 2019
Penyelenggaraan layanan kesehatan bagi jemaah haji tak hanya dilakukan di tanah suci tapi juga di Indonesia. Ini mengingat karena ibadah haji adalah ibadah fisik yang menuntut kesiapan fisik dan mental para jemaah haji sejak dini agar dapat melaksanakan rangkaian ibadah haji dengan lancar.
Kementerian Kesehatan telah mengatur dengan rinci perkara kesiapan kondisi kesehatan jemaah haji (istitaah kesehatan) ini dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Jemaah Haji.
Kepala Pusat Kesehatan Haji (Kapuskes Haji), Dr. dr. Eka Jusuf Singka, Msc menjelaskan bahwa proses pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jemaah haji menuju kondisi istitaah tersebut sudah dimulai jauh-jauh hari sejak mendaftarkan diri untuk berhaji.
“Pemeriksaan jemaah haji dilakukan sekurangnya tiga kali. Yang pertama dilakukan di puskesmas/klinik pada saat jemaah haji telah mempunyai nomor porsi. Pemeriksaan kedua dilakukan selambatnya tiga bulan sebelum waktu keberangkatan. Terakhir, pemeriksaan kesehatan dilakukan di bandara embarkasi untuk mengetahui laik tidaknya seorang jemaah haji berangkat ke tanah suci,” terang dr. Eka.
Pemeriksaan kesehatan meliputi anamnesa untuk mengetahui riwayat kesehatan jemaah saat ini, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik pada tanda vital, postur tubuh, panca indra, dan organ tubuh lainnya. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium terhadap darah, urine dan rontgen juga turut dijalankan untuk menegakkan diagnosis yang akurat. Dari berbagai pemeriksaan tersebut akan diketahui status kesehatan jemaah, tingkat risiko kesehatan hingga penetapan istitaah kesehatan, apakah yang bersangkutan memenuhi syarat atau tidak. Rekomendasi juga diberikan oleh dokter kepada jemaah haji guna meningkatkan status kesehatan tiap individu jemaah haji.
Pada pemeriksaan fase akhir, akan ditetapkan status laik atau tidak laik terbang yang merujuk pada standar keselamatan penerbangan internasional dan peraturan kesehatan internasional. Hal ini semata-mata untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada jemaah haji dalam perjalanan di pesawat dan selama berada di Arab Saudi.
“Semua bentuk pemeriksaan kesehatan sudah ada ketentuan dan standarnya dalam juknis Permenkes tersebut,” imbuh Kapuskes Haji.
Tidak hanya pemeriksaan kesehatan, pada masa tunggu (estimasi 2 tahun), pemerintah juga melakukan pembinaan kesehatan. Pelaksanaannya melibatkan tim penyelenggaraan kesehatan haji di tingkat kabupaten/kota, puskesmas/klinik termasuk tokoh agama dan organisasi profesi.
Selama masa tunggu tersebut, jemaah akan mendapatkan konseling kesehatan untuk mengendalikan faktor risiko kesehatan berdasarkan hasil pemeriksaan tahap pertama. Selanjutnya para jemaah juga melakukan latihan fisik dan pengukuran kebugaran jasmani dengan teratur. Bagi jemaah haji lansia atau yang memiliki risiko tinggi penyakit, juga didorong untuk memanfaatkan pos pembinaan terpadu (Posbindu) untuk memantau kondisi kesehatannya secara berkala. Kegiatan pembinaan kesehatan juga dilengkapi dengan penyuluhan dan penyebarluasan informasi di berbagai media.
Namun begitu, menurut Kapuskes Haji lagi, pada kenyataannya dalam pelaksanaan proses pemeriksaan kesehatan terkadang tidak maksimal karena sejumlah kendala seperti adanya pergantian jemaah haji mendekati waktu keberangkatan.
“Ada sebagian kecil jemaah yang diperiksa kesehatannya mendadak karena jemaah tersebut dipanggil secara tiba-tiba untuk melunasi biaya haji sebagai pengganti jemaah haji yang mengundurkan diri atau terpaksa membatalkan keberangkatannya atau meninggal dunia sebelum berangkat,” kata Eka.
Tenaga Kesehatan Kloter
Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini diharapkan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kementerian Kesehatan berkomitmen tinggi untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi jemaah haji selama pelaksanaan ibadah haji baik di Indonesia maupun di Arab Saudi.
Salah satu komitmen tersebut ditunjukkan dengan menempatkan tenaga kesehatan yang memadai di setiap kelompok terbang (kloter) dan menyediakan Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) di Makkah dan Madinah.
Menanggapi masukan mengenai perlunya penambahan jumlah tenaga kesehatan yang menangani jemaah haji dalam setiap kloter, Kapuskes Haji menegaskan bahwa penentuan jumlah 1 dokter dan 2 perawat bagi tiap kloter bukan menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Apabila itu diserahkan kepada Kemenkes, niscaya jumlahnya akan ditambah sesuai kebutuhan ideal.
“Jika menjadi kewenangan Kemenkes, kita akan tetapkan 10 orang tenaga kesehatan untuk setiap kloter, agar pelayanan lebih baik dan optimal,” jelas Eka.
Meski jumlah Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) tahun ini tidak bertambah dari tahun 2018, Eka berjanji akan memaksimalkan kerja TKHI yang ada untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan terhadap para jemaah haji Indonesia pada musim haji 2019.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (AM)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM