Jakarta, 20 Mei 2019
Talasemia telah menjadi mata rantai penyakit di Indonesia karena merupakan penyakit turunan. Untuk memutus mata rantai itu dapat dilakukan dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat talasemia dan mengenali ciri-ciri penyakit tersebut.
Talasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut tampak membesar karena pembengkakan limpa dan hati, dan apabila tidak diobati dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka serta warna kulit menjadi hitam
Talasemia terjadi akibat gangguan pembentukan rantai globin yang merupakan komponen sel darah merah. Gangguan pembentukan rantai globin alfa disebut sebagai talasemia alfa, sementara gangguan pembentukan rantai beta disebut talasemia beta.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, talasemia terbagi menjadi talasemia mayor, talasemia intermedia, dan talasemia minor/karier/pembawa sifat. Dokter spesialis anak RSCM dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A. (K) mengatakan pasien dengan talasemia mayor membutuhkan transfusi rutin seumur hidupnya, biasanya setiap empat minggu sekali.
“Pasien dengan talasemia intermedia juga membutuhkan transfusi, tetapi tidak sesering talasemia mayor. Sementara itu, pasien dengan thalassemia minor umumnya tidak menunjukkan gejala dan tidak membutuhkan transfuse,” katanya pada Seminar Hari Talasemia Sedunia, Senin (20/5) di Gedung Kemenkes, Jakarta.
Seseorang perlu dicurigai talasemia jika menunjukkan tanda dan gejala seperti pucat, kuning, perubahan bentuk wajah, perut membesar, kulit semakin menghitam, tinggi badan tidak seperti teman sebaya, dan pertumbuhan seks sekunder yang terhambat. Selain itu, biasanya didapatkan riwayat transfusi rutin pada anggota keluarga besar.
Pengidap talasemia memiliki kualitas sel darah merah tidak bagus dan mudah pecah sehingga terjadi anemia kronik. Oleh karena itu, transfusi rutin wajib diberikan pada semua pasien talasemia, terutama talasemia mayor.
Pasien talasemia mayor dan intermedia mendapat zat besi berlebih dari transfusi sel darah merah dan penyerapan saluran cerna, sementara kemampuan tubuh untuk membuang zat besi terbatas. Akibatnya, terjadi penumpukkan besi dalam organ-organ, seperti hati, jantung, pankreas, dan hipofisis.
Zat besi tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kegagalan organ. Umumnya, pasien talasemia meninggal akibat kegagalan organ jantung. Oleh karena itu, semua pasien talasemia mayor dan intermedia wajib mendapatkan obat pengikat (kelasi) besi setiap hari.
Hingga saat ini, terdapat tiga jenis obat kelasi besi, yaitu deferoksamin, deferiprone, dan deferasirox. Deferoksamin digunakan dengan cara disuntikkan di bawah kulit atau langsung ke pembuluh darah, sementara obat kelasi besi lainnya digunakan dengan cara diminum.
Selain secara medis, dukungan sosial juga harus diberikan untuk pasien talasemia. Pasien sering merasa tidak percaya diri karena perubahan fisik yang dialami, tinggi badan lebih pendek dibandingkan teman sebayanya, serta tanda-tanda pubertas yang munculnya terlambat atau tidak muncul sama sekali. Saat beranjak dewasa, pasien juga sering khawatir dengan masa depan dan pekerjaannya.
Pengobatan kuratif untuk talasemia adalah transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. Sayangnya, hingga saat ini kedua tatalaksana tersebut belum tersedia di Indonesia.
Bagi orang tua yang ingin anaknya menjalani prosedur transplantasi sumsum tulang, maka pasien akan dirujuk ke luar negeri dan seluruh biaya ditanggung sendiri.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM