Jakarta, 11 Juli 2019
Seorang anak SD yang tidak disebutkan namanya di Desa Buding, Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung tak mau sekolah karena sering diolok-olok oleh teman-temannya. Ia malu lantaran baju seragam yang ia kenakan bolong-bolong terkena percikan sekar rokok.
Cerita itu Mardini sampaikan pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (11/12). Mardini adalah ayah dari anak SD tersebut yang kini sudah berhenti merokok.
Mardini mulai merokok di usia 12 tahun, sejak kejadian menimpa anaknya itu ia mulai berhenti merokok.
“Saya pada usia 12 tahun sudah merokok, usai 33 tahun saya mendeklarasikan tidak merokok. Sekarang usia saya 43 tahun. Motivasi saya berhenti merokok karena sudah mengganggu saya dan keluarga saya,” katanya.
Mardini yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Buding mengaku tidak mudah untuk berhenti merokok, butuh waktu 2 tahun membiasakan dirinya lepas dari rokok.
Akhirnya di tahun ketiga hingga sekarang Mardini benar-benar berhenti merokok dan selalu mensosialisikan stop merokok kepada warganya.
“Saya selaku Kepala Desa terus mensosalisasikan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sesuai Peraturan Daerah Belitung Timur nomor 16 tahun 2016 tentang KTR. Selain itu, setiap kegiatan saya mensosialisasikan tentang bahaya merokok,” ucap Mardini.
Tak sampai di situ, melalui Bursa Inovasi Desa, Mardini membentuk komunitas Genarasi Sehat Tanpa Rokok. “Alhamdulilah sekarang berhasil dan sejak 2017 sampai sekarang sudah ada warga yang mendeklarasikan tidak merokok lebih dari 20 orang,” ucapnya.
Mardini juga menegaskan tubuh manusia tidak membutuhkan rokok. Dirinya telah membuktikan tanpa merokok dirinya lebih sehat dan bahkan bisa memiliki usaha.
Keuntungan tidak merokok secara ekonomi telah dirasakan Mardini dan keluarganya. Ia menceritakan kalau istrinya sering menyisihkan uang perhari sejumlah pengeluaran Mardini untuk membeli rokok. Ia mengaku dahulu rata-rata setiap hari menghabiskan 3 bungkus rokok, saat itu harga rokok yang sering dibelinya Rp. 10.000 perbungkus. Jadi total uang yang disisihkan oleh istrinya Rp. 30.000 perhari.
Setelah setahun, uang itu terkumpul banyak dan dibelikan bibit kelapa sawit dan karet. “Alhamdulilah sekarang bibit itu telah menghasilkan uang, bisa nabung untuk anak saya untuk sekolah ke jenjang selanjutnya,” kata Mardini.
Tidak hanya anak Mardini yang mendapatkan sisi buruk karena ayahnya merokok. Hal serupa dialami oleh anak dari Richard Maradona yang sering batuk-batuk dan demam karena ayahnya merokok.
Richard Maradona (37) adalah seorang pasien pneumothorax. Dulunya ia seorang perokok berat. Karena kebiasaan buruk Richard, anaknya sering batuk-batuk dan demam.
Dampak buruk juga ia rasakan sendiri pada 2016, saat itu paru-paru kanannya mengalami pneumothorax dan harus dioperasi 2 kali.
“Sebelum dioperasi, pada saat kontrol saya penasaran dan selalu tanya apa penyebabnya karena rokok, semua dokter menjawab sama karena rokok. Racun dalam rokok itu yang membuat organ dalam tubuh saya lemah. Jadi saya mudah terserang berbagai penyakit, salah satunya pneumothorax yang saya alami,” kata Richard.
Setelah berhenti merokok, Richard mengaku anaknya sudah tidak batuk-batuk dan demam lagi. Ia pun mengaku dirinya jauh lebih sehat daripada saat ia sebagai seorang perokok.
“Saya sangat berharap di Indonesia larang merokok di tempat umum bisa lebih diluasin lagi supaya bangsa ini bisa lebih sehat terutama anak-anak bisa menghirup udara lebih bersih dan sehat,” ucap Richard.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(D2)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM