Jakarta, 7 Mei 2018
Masalah stunting telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, karena itu pemerintah akan fokus untuk menurunkan jumlah kasus tersebut. Masalah stunting harus diselesaikan secara terintegrasi dengan lintas sektor.
Di Indonesia, stunting disebut kerdil, artinya ada gangguan pertumbuhan fisik dan pertumbuhan otak pada anak. Anak stunting dapat terjadi dalam 1000 hari pertama kelahiran dan dipengaruhi banyak faktor, di antaranya sosial ekonomi, asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, kekurangan mikronutrien, dan lingkungan.
Berdasarkan publikasi terbaru WHO (2018) berjudul ‘Reducing Stunting in Children’ menyebutkan secara global pada 2016, sebanyak 22,9% atau 154,8 juta anak-anak Balita stunting.
Di Asia, terdapat sebanyak 87 juta Balita stunting pada 2016, 59 juta di Afrika, serta 6 juta di Amerika Latin dan Karibia, Afrika Barat (31,4%), Afrika Tengah (32.5%), Afrika Timur (36.7%), Asia Selatan (34.1%).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan kabupaten sebesar 20%, sementara Indonesia baru mencapai 29,6%. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 2017, prevalensi Balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Yogyakarta (19,8%) dan Bali (19,1%). Provinsi lainnya memiliki kasus dominan tinggi dan sangat tinggi sekitar 30% hingga 40%.
Masalah stunting merupakan ancaman bagi Indonesia, karena anak stunting tidak hanya terganggu pertumbuhan fisik tapi juga pertumbuhan otak. Efeknya, SDM menjadi tidak produktif yang berdampak pada terganggunya kemajuan negara.
Untuk mencegah hal tersebut, negara hadir untuk masyarakat dalam menurunkan stunting. Upaya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah melakukan intervensi gizi spesifik meliputi suplementasi gizi makro dan mikro (pemberian tablet tambah darah, Vitamin A, taburia), pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI, fortifikasi, kampanye gizi seimbang, pelaksanaan kelas ibu hamil, pemberian obat Cacing, penanganan kekurangan gizi, dan JKN.
Stunting merupakan manifestasi dari kegagalan pertumbuhan yang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun (1000 Hari Pertama Kelahiran). Pencegahan dan penanggulangan stunting harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran dan berlanjut sampai anak berusia dua tahun.
Masalah gizi anak yang menyebabkan stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil seringkali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga, maupun masyarakat. Peran petugas kesehatan termasuk masyarakat menjadi penting dalam mensosialisasikan gizi baik di Posyandu atau Puskesmas.
Hal penting lainnya adalah memperhatikan gizi remaja putri, terutama oleh orang tuanya. Remaja putri tersebut harus memiliki gizi yang cukup agar kelak ketika hamil mampu memberi asupan gizi pada janinnya.
Selain itu, Intervensi dari kementerian lain pun diperlukan, seperti di antaranya ketahanan pangan dibutuhkan peran Kementerian Pertanian, pembangunan sanitasi dan air bersih dibutuhkan peran Kementerian PUPR, serta pembangunan desa dari Kementerian Desa PDTT.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (D2)
Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM