Seringkali penderita kusta datang ke fasilitas pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan terlambat dan dalam keadaan cacat. Padahal, penyakit kusta sebenarnya dapat disembuhkan tanpa harus disertai kecacatan. Kuncinya adalah pengobatan secara tepat dan tuntas.
Demikian pernyataan Direktur Pengendalian Penyakit Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PPML) Kemenkes RI, dr. Sigit Priohutomo, MPH, pada kegiatan temu media bertajuk “Kebijakan Pengendalian Kusta di Indonesia”, di Kantor Kemenkes RI, Jakarta (16/1).
“Upaya kita saat ini adalah penemuan dini kasus kusta, sebelum terjadi kecacatan. Karena jika sudah terjadi kecacatan, akan meninggalkan sequelle atau akibat sisa, sekalipun diobati dan sembuh, serta tidak menularkan. Tetapi sequelle itulah yang menimbulkan stigma”, ujar dr. Sigit.
Saat ini, angka kecacatan tingkat II penyakit kusta berhasil diturunkan, dari 8,71 per 1.000.000 penduduk pada tahun 2012, menjadi 6,82 per 1.000.000 penduduk pada tahun 2013. Adapun terdapat dua istilah tingkatan kecacatan pada penderita kusta, yaitu tingkat I dan II. Kecacatan tingkat I adalah cacat yang belum terlihat atau belum ada perubahan pada anatominya. Sementara kecacatan tingkat II adalah sudah terjadi perubahan yang nampak pada anatomi penderita kusta.
Sementara itu, Ketua Komite Ahli Eliminasi Kusta dan Eradikasi Frambusia, Dr. dr. Hariadi Wibisono, MPH, menyatakan bahwa seringkali masyarakat mengabaikan gejala awal pada kusta, yakni bercak putih pada kulit yang mirip seperti panu. Namun yang membedakan adalah panu biasanya disertai gatal, sedangkan pada kusta relatif tidak berasa.
“Ketidakterasaan atau mati rasa pada gejala kusta inilah yang sering diabaikan oleh penderita. Padahal, jika terus dibiarkan penyakit akan terus berkembang dan bisa memicu kebutaan, tangan dan kaki mati rasa, bahkan jari-jari kiting dan memendek. Bahkan penderita kusta yang parah, jika berjalan bisa tidak menyadari bila telapak kakinya tertusuk paku, bahkan jempol hilang pun tidak terasa”, terang dr. Hariadi.
Kusta adalah penyakit yang disebabkan kuman mycobacterium lepra yang menyerang kulit dan saraf tepi. Penderita kusta yang tidak diobati berpotensi menularkan kepada orang lain dengan kontak erat dan dalam kurun waktu yang lama. Salah satu alasan penderita kusta tidak berobat karena stigma di masyarakat. Akhirnya, penderita kusta akan menyembunyikan diri dan tidak mau keluar rumah untuk berobat.
“Ini yang disayangkan, kusta sebenarnya bisa disembuhkan jika diobati sejak dini”, kata dr. Hariadi.
Selain itu, Pemerintah juga sudah menyediakan obat bagi para penderita secara gratis di Puskesmas. Untuk penderita kusta kering (pausi basiler), obat harus dikosumsi selama 6 bulan. Sedangkan untuk kusta basah (multi basiler), pengobatan dilakukan selama 12 bulan.
“Berobatlah ke Puskesmas, obatnya gratis. Pengobatan kusta itu memang lama, jadi jangan menyerah!”, tandas dr. Hariadi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.