Resistensi antimikroba (AMR) telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai bagian dunia. Persoalan resistensi antimikroba mulai menjadi isu kesehatan masyarakat yang semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan kesehatan di seluruh dunia.
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan. Salah satu contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunan antibiotika. Hal ini dapat dilihat dari indikator penggunaan antibiotik yang digunakan masyarakat.
“Indikator tidak patuhnya pemakaian antibiotik adalah masih tersisanya atau masih disimpannya antibiotik di rumah yang seharusnya dihabiskan”, ujar Menkes dalam sambutannya pada Workshop Penyusunan dan Implementasi Rencana Aksi Nasional dalam rangka Memerangi Resistensi Antimikroba yang digagas WHO, di Jakarta (31/5). Acara pada malam ini dihadiri oleh perwakilan dari WHO, FAO, Kementerian kesehatan, Kementerian Pertanian, Dinas akademisi, KPRA, dan asosiasi profesi.
Angka kematian akibat Resistensi Antimikroba sampai tahun 2014 sebesar 700.000 per tahun. Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada tahun 2050, kematian akibat AMR lebih besar dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.
Salah satu faktor pemicu meningkatnya kejadian resistensi antimikroba dikarenakan penggunaan antimikroba yang tidak bijak di manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik pada sektor pertanian, peternakan dan perikanan menyebabkan infeksi pada hewan dan tumbuhan makin sulit untuk diobati. Selain itu penyebaran kuman resisten dari binatang ternak dan kontaminasi makanan oleh bakteri resisten antibiotik bisa menyebabkan manusia terinfeksi bakteri kebal antibiotik. Sehingga tidaklah mengejutkan dimasa depan bila reistensi antimikroba akan melewati kanker dan diabetes sebagai penyebab kematian utama di dunia.
“Sebagai contoh penyakit Tubercolosis (TB) bila pengobatannya tidak sampai tuntas akan menyebabkan TB menjadi Multi-Drugs Resistance (MDR), dan bila setelah tahap ini masih resisten lagi apa yang bisa kita lakukan?”, tambah menkes dalam sesi workshop.
Bila hal ini tidak segera diantisipasi maka akan mengakibatkan dampak negatif yang masif pada kesehatan, ekonomi, ketahanan pangan dan pembanguan global. Dalam posisi Indonesia resistensi antimikroba akan membebani keuangan negara dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Masalah resistensi antimikroba adalah masalah yang kompleks karena bersifat multi dimensi dan multifaktor serta banyak stakeholders. Untuk itu dibutuhkan manajemen koordinasi lintas sektor antara kesehatan manusia, kesehatan hewan dan ketahanan-keamanan pangan dalam penanganannya agar menjadi komprehensif.
Hal ini sesuai dengan resolusi pada pertemuan World Health Asembly (WHA) ke-68 pada tahun 2015 yang mengeluarkan Global Action Plan on Antimicobial Resistance, sebagai salah satu resolusi dalam pengendalian resistensi antimikroba dan menjadi salah satu program prioritas di bidang kesehatan baik secara nasional maupun global. Diharapkan semua negara anggota WHO telah memiliki ‘Multisectoral National Action Plan’ di tahun 2017 melalui pendekatan “One Health”.
Tantangan dalam penanggulangan resistensi antimikroba juga menjadi tidak mudah karena persoalan ini bukan saja melibatkan pasien atau dokter, tetapi juga melibatkan industri farmasi, industri rumah sakit, kepentingan bisnis, kesadaran masyarakat, dan dunia pendidikan secara luas.
Oleh karena itu Menkes kembali menekankan tanggung jawab dari penanggulangan resistensi antimikroba tidak bisa hanya dibebankan di satu pihak.
“Satu yang ingin saya tekankan, tidak hanya Kementerian Kesehatan saja yang bertanggug jawab, atau Kementerian Pertanian, tetapi juga masyarakat juga harus bertanggung jawab, karena pemakaian antibiotik tanpa aturan kedepannya akan merugikan kita semua”, Tegas Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.