Apakah perbedaan dokter layanan primer (DLP) dengan dokter umum biasa? Apakah dokter umum bila ditambah workshop atau kursus-kursus akan sama dengan dokter layanan primer?
Pertanyaan di atas cukup mengemuka di masyarakat. Menanggapi hal tersebut, dalam temu media mengenai DLP yang digelar di Kantor Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu, salah seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prof. dr. Lukman Hakim, SpPD-KGEH, menegaskan bahwa pendidikan tambahan bagi DLP harus ditempuh secara formal, bukan hanya berupa kursus. Menurutnya, pendididkan formal itu terdiri atas tiga unsur, yakni: menambah pengetahuan (knowledge), harus dilatihkan, dan harus diujikan (feedback). Sementara kursus bisanya hanya memberi unsur pengetahuan saja.
“Tidak cukup kalau hanya course, berbeda. Kalau pendidikan itu ada tiga unsur, sedangkan course hanya satu, pengetahuan. Dapet sertifikat tapi belum tentu diaplikasikan dalam keseharian. DLP perlu pendidikan formal agar apa yang kita dapatkan dapat benar-benar kita sadari, hayati dan kerjakan”, terang Prof. dr. Lukman Hakim, Selasa (6/12).
Dijelaskan oleh Prof. dr. Lukman, di dalam kurikulum kedokteran sebenarnya sudah diperkenalkan materi tentang kedokteran keluarga, namun baru sampai pada tahap pendekatan. Kalau hanya mengandalkan ilmu pendekatan keluarga yang di dapatkan di fakultas dirasa sangat kurang, karena itu perlu ada tambahan pendidikan.
Selaras dengan hal tersebut, Wakil dekan FK UI, Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, Ph.D., Sp.MK(K), membenarkan bahwa kompetensi dokter umum untuk pendekatan keluarga, upaya preventif dan promotif tidak terlalu tinggi,
“Perbedaannya signifikan. Lulusan fakultas kedokteran manapun sampai saat ini mengacu pada kompetensi yang sesuai dengan standar kompetensi KKI itu tidak sampai pada mengerjakan sendiri. Hanya sampai mengetahui atau kategori A3. Padahal dalam DLP kami mengharapkan kompetensinya lebih tinggi sampai A4, yang mana dia bisa menjalankan sendiri, menciptakan program bagi masyarakat”, terang Prof. dr. Pratiwi.
Menurutnya, kegiatan preventif-promotif harus dilaksanakan secara serius, karena bila tidak, beban masyarakat dan beban negara akan kesakitan yang ditimbulkan oleh berbagai hal yang seharusnya bisa dicegah tidak akan terbendung.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.