Manado, 2 Oktober 2018
Nama warga Wisconsin, Amerika Serikat, Jeanna Giese-Frassetto disebut-sebut dalam sejarah kedokteran berkat rabies.
“Jeanna satu-satunya survivor rabies di dunia yang bertahan tanpa divaksin karena perawatan ekstrem dengan pembiusan koma oleh dokternya agar virus di otaknya mati melalui Milwaukee Protocol,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sulut dr. Steven Dandel, MPH di tengah puluhan blogger kesehatan dalam acara bertema “Berbagi Pesan di Media Sosial untuk Manado Bebas Rabies” di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Steven mengawali penjelasannya melalui kasus langka tersebut untuk menjelaskan bahwa rabies dapat dicegah dan disembuhkan melalui cara yang tepat. Pada dasarnya, rabies merupakan penyakit menular akut yang menyerang susunan saraf pusat disebabkan oleh Lyssa virus. Penyakit ini menyerang manusia dan hewan.
Terdapat gejala klinis dalam empat stadium yang patut diwaspadai, stadium prodomal atau awal terlihat seperti infeksi virus lainnya, seperti demam, sakit kepala, anoreksia, mual, dan sebagainya. Stadium kedua atau sensoris, biasanya terdapat nyeri di daerah luka gigitan, kesemutan, kebas, panas, gugup, gelisah, keringat berlebih, air liur berlebih, dan keluar air mata berlebih.
Stadium eksitasi memerlihatkan penderita gelisah, kaget-kaget, setiap ada rangsangan dari luar kejang-kejang, sehingga terjadi takut air, takut angin hingga takut cahaya. Stadium akhir disebut paralitik terjadi ketika ketiga stadium sudah dialui. Gejalanya kelumpuhan dari bawah ke atas yang sangat cepat.
“Sayangnya, tahapan stadium itu sulit dibedakan karena durasi sakitnya sangat singkat. Yang terpenting adalah penanganan lanjutan karena kalau ada kasus gigitan tak bisa menunggu sampai gejala tadi muncul,” cetus Steven.
Ironisnya, masyarakat di wilayah Sulawesi Utara yang termasuk daerah prevalensi rabies tinggi justru kesadarannya masih rendah untuk melakukan langkah preventif. Menurut Steven banyak faktor penyebab rabies belum tuntas di kawasan Kawanua tersebut.
“Karena masyarakat tak paham karena setelah digigit hewan pembawa virus rabies harus divaksin, mereka ada juga yang ketakutan pada jarum ketika divaksin, dan akses yankes terbatas,” jelas Steven.
Ia menyayangkan pula kepercayaan masyarakat untuk menempuh jalur pengobatan alternatif. Orang yang tergigit anjing dengan rabies memercayakan pengobatan dengan mengoleskan kayu, kain dan daun khusus yang telah diberi doa ke area bekas gigitan. Fatalnya, korban rabies masih berjatuhan karena penanganan tersebut tak mampu mengalahkan virus.
Sebaliknya, di Pasar Ekstrem Tomohon yang dikenal sebagai pusat penjualan hewan-hewan vektor justru tak ditemukan kasus rabies dalam lima tahun terakhir. Lantaran dalam setahun dua kali, para pedagang memvaksin hewan peliharaannya, terutama anjing.
Dari sanalah Steven menyimpulkan, upaya penting untuk pencegahan primer rabies, yakni dengan promosi kesehatan dan proteksi khusus melalui vaksinasi hewan. Cara lainnya dengan menggandeng tokoh agama serta aparat keamanan untuk mengubah persepsi masyarakat.
Ada dua jenis vaksin rabies, yaitu Profilaksis Pra-Pajanan (PrPP), yaitu vaksinasi pencegahan sebelum paparan virus rabies, dan Profilaksis Pasca Pajanan (PEP), yaitu vaksinasi untuk menghentikan timbulnya rabies setelah terpapar virus.
PrPP adalah serangkaian vaksinasi pencegahan rabies yang biasanya diberikan kepada orang yang dianggap berisiko tinggi terpapar, misalnya petugas pengawas hewan, dokter hewan, atau orang yang tinggal atau bepergian ke daerah endemis rabies.
“Jika seseorang telah mendapatkan PrPP dan terkena rabies, tetap masih perlu PEP, tetapi dosis PEP berkurang. Sebuah paket vaksin rabies secara lengkap, yaitu PrPP atau PEP, akan menginduksi kekebalan atau imunitas tubuh terhadap virus rabies selama bertahun-tahun,” kata Kasubdit Zoonosis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis (P2TVZ) Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI dr. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes.
PEP adalah suatu program vaksinasi yang melindungi terhadap rabies, setelah terkena gigitan binatang. PEP terdiri dari suntikan imunoglobulin atau antibodi terhadap virus rabies ke dalam luka, dan serangkaian vaksinasi rabies lanjutan. Jumlah, dosis, dan jadwal vaksin mungkin berbeda-beda.
“Tetapi pada umumnya 1 dosis pada setiap hari ke 0, 3, 7, 14, dan 28 setelah gigitan. Agar PEP efektif, haruslah mencakup keduanya, yaitu vaksinasi dan pengobatan imunoglobulin,” kata Endang.
Pada orang yang telah menerima PEP, masih perlu hanya dua dosis tambahan vaksin, yaitu pada hari ke 0 dan 3 setelah paparan, dengan tidak perlu suntikan immunoglobulin. Efek samping vaksinasi rabies serius sangat jarang terjadi dan risiko kematian akibat rabies, jauh lebih tinggi dibandingkan masalah efek samping vaksinasi.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.(wul)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM