Jakarta, 2 November 2018
Perubahan iklim dan peningkatan resistensi anti-mikroba telah mendorong peningkatan munculnya new-emerging diseases dan re-emerging diseases yang berpotensi pandemik dengan karakteristik risiko kematian yang tinggi dan penyebaran yang sangat cepat. Globalisasi yang mengakibatkan peningkatan mobilitas manusia dan hewan lintas negara serta perubahan gaya hidup manusia juga telah berkontribusi mempercepat proses penyebaran wabah menjadi ancaman keamanan kesehatan global.
Sejak outbreak wabah Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS) di kawasan Asia pada tahun 2003, ancaman keamanan kesehatan global terus menunjukkan kecenderungan peningkatan antara lain terjadinya outbreak flu burung/avian influenza (H5N1) tahun 2004, flu babi/swine influenza (H1N1) tahun 2009 (dideklarasikan WHO sebagai pandemi pertama kalinya di abad ke-21), Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV) tahun 2012-2013, Ebola tahun 2014, dan Zika tahun 2015.
Peningkatan ancaman keamanan kesehatan global tersebut menjadi ancaman serius bagi sistem kesehatan nasional dan mengakibatkan kerusakan besar bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa outbreak wabah Ebola di Guinea, Liberia dan Sierra Leone pada tahun 2014 mengakibatkan pertumbuhan negatif perekonomian ketiga negara tersebut lebih dari setengah pertumbuhan ekonomi sebelum outbreak.
Sedangkan kerugian ekonomi akibat outbreak di kawasan Afrika secara keseluruhan mencapai USD 30 milyar. Indonesia pun pernah mengalaminya saat menghadapi outbreak flu burung yang menanggung beban ekonomi sampai Rp 5 Trilyun, serta penurunan perdagangan dan pariwisata.
Menyikapi hal tersebut, organisasi-organisasi internasional, seperti WHO (Badan Kesehatan Dunia), FAO (Badan Pangan Dunia), dan OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) telah mengembangkan sejumlah aturan, pedoman dan kerangka sebagai acuan dalam upaya peningkatan kapasitas yang dimaksud.
WHO memiliki International Health Regulations (IHR) yang disahkan pada tahun 2005 menggantikan IHR (1969) dengan memperluas cakupan keamanan kesehatan global terhadap wabah dari semua penyakit. IHR (2005) yang mulai berlaku efektif pada 15 Juni 2007 merupakan instrumen internasional yang mengikat kewajiban negara-negara Pihak untuk mencegah, melindungi, dan mengendalikan penyebaran wabah secara internasional sesuai dengan dan terbatas pada faktor risiko yang dapat mengganggu kesehatan, dengan sesedikit mungkin menimbulkan hambatan pada lalu lintas dan perdagangan internasional. Indonesia menjadi negara Pihak IHR (2005) sejak tahun 2007.
Outbreak wabah Ebola pada tahun 2014 telah menyadarkan kembali dunia mengenai kebutuhan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional masing-masing negara melalui implementasi penuh IHR (2005). Berbagai literatur menyimpulkan bahwa outbreak wabah Ebola tidak akan terjadi atau dapat diminimalisir dampaknya apabila di negara-negara yang terpapar yaitu Guinea, Liberia dan Sierra Leone memiliki sistem kesehatan nasional yang kuat dengan membangun kapasitas sesuai IHR (2005).
Sebagai respons, Global Health Security Agenda (GHSA) muncul sebagai forum kerja sama antar negara yang bersifat terbuka dan sukarela, dengan tujuan untuk memperkuat kapasitas nasional dalam penanganan ancaman penyakit menular dan kesehatan global. Diluncurkan pada Februari 2014 dengan 29 negara anggota sebagai inisiatif 5 tahun. Saat ini GHSA telah beranggotakan 65 negara dan didukung oleh badan-badan PBB seperti WHO, FAO, OIE, Bank Dunia, serta organisasi non pemerintah dan sektor swasta.
Area Kerja Sama GHSA
Strategi kerjasama dalam GHSA difokuskan pada upaya penguatan kapasitas nasional setiap negara, khususnya dalam melakukan pencegahan, deteksi dan penanggulangan penyebaran penyakit. Secara teknis, terdapat 11 paket aksi yang menjadi prioritas yaitu:
1) Penanggulangan Anti Microbial Resistance (AMR);
2) Pengendalian penyakit Zoonotik;
3) Biosafety dan Biosecurity;
4) Imunisasi;
5) Penguatan Sistem Laboratorium Nasional;
6) Surveilans;
7) Pelaporan;
8) Penguatan SDM;
9) Penguatan pusat penanganan kegawatdaruratan;
10) kerangka hukum dan respons cepat multisektoral; dan
11) mobilisasi bantuan dan tenaga medis.
Perkembangan dan Kontribusi GHSA
Beberapa perkembangan yang telah dicapai dan kontribusi yang diberikan GHSA antara lain adalah, Pertama,
a. Keanggotaan
Negara anggota GHSA telah berkembang, dari 29 negara pada saat peluncuran di tahun 2014 menjadi 65 negara saat ini.
b. Kontribusi :
• Joint External Evaluation (JEE)
Sebagaimana diketahui, penilaian IHR sampai tahun 2015 hanya menggunakan self-assessment, yang memungkinkan adanya penilaian yang tidak obyektif. Dalam hal ini, GHSA pada tahun 2015 menyusun Country Assessment Tool yang merupakan penilaian terhadap kapasitas dalam 11 paket aksi, dimana selain menggunakan internal assessor, untuk pertama kalinya, penilaian kapasitas dalam ketahanan kesehatan juga melibatkan external assessor. Assessment tool dimaksud kemudian diadopsi oleh WHO menjadi JEE pada tahun 2016, yang merupakan gabungan dari 8 kapasitas inti IHR dan 11 Action Package GHSA.
• Peningkatan komitmen politis dalam penanganan global health security.
• Berbagi praktik terbaik dalam kenaggotaan Paket Aksi
• Peningkatan kolaborasi dan kerja sama lintas sektor, yaitu keterlibatan sektor lain di luar kesehatan, serta keterlibatan sektor non-pemerintah, swasta, filantropi, generasi muda, dan donor dalam mencapai ketahanan kesehatan global. Hal ini menjadi penting mengingat ketahanan kesehatan tidak dapat dicapai sendiri oleh sektor kesehatan dan oleh pemerintah saja.
Arah ke Depan
Sebagai inisiatif 5 tahun, kerja sama GHSA harusnya berakhir pada akhir tahun 2018. Namun demikian, Pertemuan Tingkat Menteri GHSA ke-4 di Uganda menghasilkan Kampala Declaration yang pada intinya menyepakati untuk memperpanjang mandat GHSA hingga tahun 2024 (GHSA 2024). Dalam fase ke-2 dimaksud, GHSA akan memiliki visi, misi, dan tujuan yang lebih terukur dengan beberapa fokus antara lain adalah penguatan kolaborasi dengan semua sektor dan aktor terkait.
Peran Indonesia dalam GHSA
Dalam kerja sama GHSA, Indonesia termasuk salah satu negara yang aktif berkontribusi, diantaranya menjadi anggota Tim Pengarah (Steering Group) bersama 9 negara lainnya, anggota Troika pada tahun 2014-2018, serta menjadi Ketua Tim Pengarah pada tahun 2016 yang mendapat apresiasi positif dari berbagai negara anggota dan mitra.
Dalam fase ke-2 GHSA (GHSA 2024), Indonesia akan tetap mengambil peran aktif dengan menjadi anggota tetap Tim Pengarah (Steering Group), menjadi leading country untuk zoonotic disease action package dan contributing country untuk action package antimicrobial resistance, biosafety and biosecurity, serta real-time surveillance. Indonesia juga menawarkan untuk menjadi host country Sekretariat GHSA yang akan membantu administrasi dan komunikasi dalam GHSA 2024 yang saat ini sedang dalam pembahasan untuk menentukan lokasi dan komposisinya.
Pertemuan tingkat Menteri GHSA ke-5
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI akan menjadi tuan rumah Pertemuan Tingkat Menteri GHSA ke-5 pada tanggal 6-8 November 2018 di Bali Nusa Dua Convention Center 2 (BNDCC 2), Bali.
Pertemuan ini merupakan pertemuan tahunan dan tertinggi dalam forum GHSA dengan tujuan untuk meningkatkan komitmen negara dalam mencapai ketahanan kesehatan global, regional, dan nasional, sekaligus sebagai upaya berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan merespons cepat berbagai penyakit menular berpotensi wabah.
Dari konteks nasional, pertemuan diharapkan dapat mendorong penguatan ketahanan kesehatan nasional dan lebih meningkatkan kerja sama lintas sektor, serta menjadi ajang bagi Indonesia untuk berbagi praktik terbaik dalam pencapaian ketahanan kesehatan global dan nasional.
Selain itu, Pertemuan GHSA Bali akan menjadi momentum untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah untuk mengimplementasikan secara penuh IHR (2005) antara lain penyelesaian Rencana Aksi Nasional Keamanan Kesehatan Global, penguatan kelembagaan di Pusat dan Daerah melalui penuntasan Instruksi Presiden Presiden tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia (saat ini telah sampai di Kantor Presiden), pengarusutamaan Keamanan Kesehatan Global dalam pembangunan nasional, penyediaan anggaran khusus bagi Keamanan Kesehatan Global, sosialisasi dan simulasi penanganan pandemi, serta pengetahuan mengenai Keamanan Kesehatan Global pada pendidikan formal, informal dan non-formal.
Petemuan diperkirakan akan dihadiri sekitar 500-750 peserta, terdiri dari Menteri dan pejabat tingkat tinggi dari negara-negara anggota dan observer GHSA, organisasi internasional, sektor swasta, dan komunitas masyarakat. Pertemuan akan meningkatkan komitmen negara dalam mengatasi ancaman keamanan kesehatan global melalui peluncuran GHSA 2024 Framework dan pengesahan Deklarasi Bali.
Pertemuan selain dilakukan dalam bentuk Pleno yang terbagi ke dalam 5 Sesi yang membahas “Advancing Global Partnership” pada tingkat global, regional dan nasional serta koordinasi Action Packages, juga menyelenggarakan 8 Side Events dan 4 back-to-back Meeting.
Indonesia menyelenggarakan Pertemuan Informal Menteri Kesehatan ASEAN dalam bentuk Lunch membahas pentingnya upaya bersama ASEAN menghadapi ancaman keamanan kesehatan global. Dari Pertemuan ini, Indonesia akan memprakarsai pembetukan platform kerja sama Keamanan Kesehatan Regional ASEAN. Indonesia akan melaporkan mengenai hal tersebut kepada Pertemuan Menteri Kesehatan ASEAN pada tahun 2019 di Kamboja.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM