Nusa Dua Bali, 7 November 2018
Penyakit yang menyerang saluran pernafasan yang dikenal dengan nama Middle Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV), dan penyakit radang selaput otak akibat bakteri Neisseria yakni Meningitis Meningokokus, merupakan dua hal dari banyak hal yang bisa mengancam upaya penyelenggaraan kesehatan haji.
“Haji itu sebuah momen tahunan di mana jutaan masyarakat muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul untuk beribadah. Di sisi kesehatan, pada momen tersebut ada risiko bagi keamanan kesehatan global. Hal ini menjadi perhatian apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah haji terbanyak (di dunia),” jelas Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, Dr. dr. Eka Jusup Singka, MSc, dalam media briefing yang dilenggarakan di sela-sela kegiatan The 5th Global Health Security Agenda (GHSA) Ministerial Meeting di Nusa Dua, Bali, Rabu siang (7/11).
Eka menyatakan bahwa langkah pencegahan (preventif) merupakan yang utama, di samping upaya pemantauan, deteksi dini, dan respons yang juga tidak bisa dikesampingkan.
“Penyakit MERS-CoV endemis di kawasan Timur Tengah. Beberapa penelitian menemukan potensi penularan bersumber binatang, salah satunya unta. Untuk itu, upaya pencegahannya dengan membatasi kontak jemaah dengan hewan (baca: unta) yang secara penelitian berpotensi menularkan,” ujarnya.
Bukan hanya penyakit MERS-CoV, ancaman lainnya adalah penyakit Meningitis Meningokokus. Hal ini dilatarbelakangi bahwa saat melaksanakan ibadah di Tanah Suci, jemaah haji berpeluang melakukan kontak dengan masyarakat yang berasal dari wilayah Sub Sahara yang disebut sebagai meningitis belt.
“Ini alasannya mengapa Pemerintah Arab Saudi memberi syarat wajib vaksinasi Meningitis bagi jemaah haji dan umroh,” tuturnya.
Vaksinasi Meningitis Meningokokus akan efektif bila dilaksanakan dua minggu sebelum tanggal keberangkatan. Sangat diharapkan, vaksinasi Meningitis bagi jamaah haji dan umroh ini semestinya disadari masyarakat sebagai sebuah kebutuhan pribadi untuk melindungi diri, bukan dipandang sebagai kewajiban yang dianggap memberatkan.
Pada kesempatan tersebut, Eka menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada satupun jamaah haji yang terkonfirmasi secara laboratorium menderita MERS CoV atau Meningitis Meningokokus.
“Alhamdulillah, sampai saat ini jemaah haji Indonesia yang jumlahnya 221 ribu tersebut, tidak ada satupun yang pulang dengan membawa penyakit menular yang dikhawatirkan. Tetapi kita tetap harus memberikan perlindungan bagi masyarakat, to prevent, to detect dan to response,” tandasnya.
Eka menuturkan bahwa sebenarnya masih banyak ancaman penyakit menular lainnya yang perlu juga diperhatikan, seperti Yellow Fever, Kolera, Flu Burung, dan lainnya. Bahkan, suhu udara yang panas juga dapat menjadi ancaman bagi kesehatan para jemaah haji, sehingga perlu tindakan pencegahan dan penanganan yang cepat bilamana risiko tersebut terjadi.
“Selain itu, ada tantangan dari dalam, sebagian besar jemaah kita termasuk risiko tinggi karena telah menderita penyakit tidak menular sejak sebelum keberangkatan,” katanya.
Untuk itu, penting bagi seluruh calon jemaah haji untuk senantiasa menjaga kesehatan, memperhatikan kebugaran dan secara berkala memeriksakan diri agar berada dalam kondisi kesehatan yang optimal saat akan berangkat ke Tanah Suci.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM