Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH selaku Wakil Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mewakili Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, menandatangani dan menyerahkan berita acara the Indonesian Partnership Fund (IPF) Handover and Resource Mobilization atau Serah Terima Pengelolaan Dana Kemitraan Indonesia untuk AIDS (DKIA) dari United Nation Development Programme (UNDP) oleh Country Director, El-Mostafa Benlamlih, kepada Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) yang diwakili oleh Pejabat Sekretaris KPA Nasional, dr. Kemal N. Siregar, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (19/7).
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, (tengah) menyerahkan berita acara pengelolaan Dana Kemitraan Indonesia untuk HIV/AIDS dari UNDP yang diwakili Country Director, El-Mostafa Benlamlih, kepada Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) yang diwakili oleh Pejabat Sekretaris KPA Nasional, dr. Kemal N. Siregar, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (19/7) |
Sejak 2005 hingga pertengahan 2012, UNDP telah mengelola dana sebesar 56,1 juta dolar AS, termasuk diantaranya dana dari Pemerintah Inggris sebesar 51,7 juta dolar AS, Pemerintah Australia 3,4 juta dolar AS, dan Pemerintah Amerika Serikat sebesar 1 juta dolar AS.
Menkes memberikan apresiasi kepada UNDP, atas kesediaannya melatih pengelolaan dana secara akuntabel dan transparan, sehingga pada akhirnya terjadi transfer of skill and good habit. Selain itu, Menkes juga memberikan penghargaan kepada Sekretariat KPAN atas ketekunan dan kerja kerasnya, sehingga sejak 2007, KPAN dinilai baik dalam audit tahunan oleh kedua dewan audit nasional dan lembaga lain.
Menkes mengatakan, IPF diluncurkan pada 2005 dan bertujuan untuk mendukung kegiatan dan memperkuat respon multi-sektoral yang efektif dan berkelanjutan terhadap epidemi HIV di Indonesia, sekaligus memberi kontribusi bagi pencapaian tujuan dari Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS.
“Keunikan IPF adalah sifatnya yang fleksibel, sehingga bisa menutupi kesenjangan-kesenjangan yang terjadi. Karena itu, IPF memungkinkan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan program pencegahan, serta dukungan terhadap populasi kunci dan orang yang hidup dengan HIV, terutama di daerah yang paling terkena dampak. Selain itu, dana IPF juga dapat digunakan untuk nmeningkatkan sistem di KPAN, melalui pelatihan dan capacity building”, terang Menkes
Selain itu, Menkes menambahkan bahwa masih banyak kebutuhan-kebutuhan civil society yang belum terpenuhi oleh donor konvensional. Padahal, dukungan dan peran civil society dalam penanggulangan AIDS nasional sangat penting. Karena itu, komitmen IPF adalah mengalokasikan 30% sebagai dana hibah sebagai dukungan terhadap civil society.
“Pada periode 2006-2011, dukungan IPF untuk civil society mencapai 2,2 juta dolar Amerika, melebihi 30% dari yang kita alokasikan”, kata Menkes.
Lebih lanjut, Menkes mengatakan IPF juga berperan penting dalam mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan AIDS nasional. Pada tahun 2008 dan 2009, IPF mendukung proses proposal pembangunan Indonesia kepada the Global Fund to fight AIDS, TB dan Malaria (GF-ATM).
“Upaya penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan sebuah mekanisme nasional yang efisien dan merupakan upaya bersama dalam mengembangkan, mengkoordinasikan dan membina berbagai upaya pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai tujuan bersama”, ujar Menkes.
Kementerian Kesehatan telah berkomitmen memanfaatkan sumber daya dengan sebaik-baiknya untuk dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan untuk dapat mencapai target Millenium Development Goal (MDG) keenam, khususnya penanggulangan HIV/AIDS.
“Kita akan berusaha agar jangan sampai ada satupun orang Indonesia yang terkena infeksi baru HIV (zero infection) atau meninggal akibat HIV/AIDS (zero death). Selain itu kita juga akan berusaha sekuat tenaga untuk menghapuskan diskriminasi terhadap mereka yang terkena HIV/AIDS dan yang rentan terhadap infeksi HIV (zero discrimination)”, tegas Menkes.
Pada kesempatan tersebut, Menkes mengucapkan terima kasih atas dukungan tiga mitra bilateral, yaitu Pemerintah Inggris (DFID), Australia (AusAID), dan Amerika Serikat (USAID) yang telah berkomitmen untuk terus mendukung penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Menkes menjelaskan, bahwa sebenarnya IPF tidak tergantung pada dana dari luar negeri.
“Kita menghargai dukungan dari luar negeri, Namun, pada suatu waktu kita harus menggalang dana, dukungan finansial dari dalam negeri. Karena itu, kita sangat mengharapkan dukungan sektor swasta, para pengusaha dan masyarakat untuk berkontribusi, agar dapat melanjutkan bahkan meningkatkan upaya yang telah dilakukan IPF selama ini”, jelas Menkes.
Menkes menyatakan, menjadi kontributor IPF merupakan sebuah mekanisme unik yang menjadi kesempatan siapapun untuk bergabung guna mendukung upaya pengendalian epidemi AIDS di seluruh Indonesia.
Sekretaris Komisi Nasional, dr. Kemal N. Siregar memaparkan angka penularan HIV di Indonesia. Sampai tahun 2006, di Indonesia, HIV lebih banyak ditularkan melalui penggunaan injecting drug use (IDU) oleh pengguna narkoba suntik (Penasun) yang tidak aman. Angka ini menurun tajam dari 54,4 persen (2006) menjadi 16,3 persen (pertengahan 2011). Ini merupakan hasil dari upaya multi-sektoral dengan kemitraan yang luas melibatkan Penasun, lembaga penegak hukum termasuk polisi, Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Sosial dan Sekretariat KPAN, dengan meluncurkan kampanye intensif advokasi, pelatihan, serta pengembangan kebijakan, manual dan persiapan untuk integrasi jarum-jarum suntik dan layanan metadon yang ada di fasilitas kesehatan masyarakat (Puskesmas, klinik, dan rumah sakit). Selain itu, dukungan IPF juga penting untuk mengembangkan program Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM).
“Dibalik keberhasilan, masih banyak yang harus dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS melalui transmisi seksual”, ujar dr. Kemal.
Berdasarkan laporan KPAN, jumlah kasus AIDS melalui hubungan seks tanpa kondom antara pria dan wanita, meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 38,5 persen menjadi 76,3 persen. Pada 2009, Kemenkes juga telah memperkirakan bahwa hampir 6,5 juta warga Indonesia berisiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Dr. Kemal, dalam hal ini perempuan membutuhkan perhatian lebih besar. Data menyebutkan, ada lonjakan jumlah perempuan yang terinfeksi AIDS dari 16,9 persen (2006) menjadi 35,1 persen pada pertengahan 2011. Sebagian besar perempuan terinfeksi oleh suami mereka. Dengan kata lain, mereka adalah “ibu rumah tangga”, yang kemudian menularkan HIV kepada bayinya selama kehamilan, saat melahirkan atau melalui menyusui.
Namun, tidak hanya wanita yang berisiko, begitu juga pria. Laki-laki heteroseksual membeli seks dari pekerja seks, dan bisa menginfeksi pasangan mereka dan istri. Pria yang berisiko tinggi adalah pria yang sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan memiliki uang, bekerja jauh dari rumah, seperti di lokasi konstruksi, pertambangan, pedalaman, dan industri lainnya atau di sepanjang garis pantai Indonesia. Selain itu, pria berisiko lainnya adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lainnya (LSL) dan waria.
“Masalah-masalah ini memerlukan strategi konsolidasi yang melibatkan semua stakeholder melalui pendekatan yang komprehensif untuk pencegahan HIV melalui transmisi seksual (PMTS Paripurna)”, terang dr. Kemal.
PMTS Paripurna memang penting untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia, Namun, tidak hanya itu, upaya ini membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak, melalui pendekatan yang lebih memahami struktur sosial masyarakat serta lingkungan agar layanan yang diberikan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail [email protected].