Oleh : Prof Hasbullah Thabrany (Guru Besar Universitas Indonesia)
Kebekuan Sikap Penentu Anggaran di Indonesia Dapat Menggagalkan Jaminan Sosial – Menghancurkan Tiang Utama Negara |
Indonesia adalah negara dengan bangsa (pemerintah dan rakyatnya) yang tergolong pelit terhadap dirinya sendiri. Untuk hidup produktif dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, suatu bangsa harus sehat dan produktif. Sehat dan produktif tidak ada diberikan Tuhan secara gratis, bangsa itu sendiri haru investasi –jer basuki mawa bea. Negara-negara yang telah berbudaya dan mempunyai ekonomi
menengah keatas menghabiskan 6-18%
Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kesehatan. Negara paling boros adalah Amerika Serikat yang membangun sistem kesehatannya dengan dominasi asuransi komersial yang menghabiskan 18% PDB untuk kesehatan. Borosnya Amerika disebabkan karena dominasi asuransi komersial. Negara-negara Eropa Barat menghabiskan 8-10% PDB saja dengan kinerja yang lebih baik dari Amerika. Mekanisme pendanaan yang menopang sistem kesehatan di Eropa Barat adalah asuransi sosial. Negara besar yang baru tumbuh (emerging countries) seperti China dan India telah mencapai belanja kesehatan 5% PDB. Indonesia dalam 40 tahun terakhir hanya membelanjakan 2-3% PDB untuk kesehatan. Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih “omdo”, omong doang untuk mengutamakan kesehatan. Bukti sahihnya adalah proporsi belanja Pemerintah untuk kesehatan yang dalam 40 tahun terakhir masih sekitar 1% PDB.
Ketertinggal Indonesia bertambah parah dengan salah urusnya sistem jaminan kesehatan yang tahun depan mulai dikoreksi. Indonesia telah menerapkan sistem asuransi sosial untuk memobilisasi dana menjamin kesehatan pegawai negeri sejak 45 tahun yang lalu. Jadi, jika Indonesia bisa menjamin seluruh penduduk tahun 2018, artinya perlu waktu 50 tahun untuk Indonesia menjamin seluruh penduduknya. Korea Selatan hanya memerlukan 12 tahun saja. Kesalahan masa lalu adalah menyerahkan penyelenggaraan asuransi sosial kepada PT (Persero). Ini keajaiban dunia. Pungutan wajib dikelola oleh perusahaan. Kekeliruan selama 20 tahun itu, akhirnya dikoreksi. Kekeluriuan itu dikoreksi dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam UU SJSN diatur program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2004 yang baru akan dilaksanakan tahun 2014, tertunda 10 tahun. Dengan perjuangan dan kawalan besar pekerja yang dikoordinir KAJS—Komite Aksi Jaminan Sosal—akhirnya UU BPJS dilahirkan tahun 2011. Jika UU SJSN mengatur JKN, UU BPJS mengatur badan yang akan mengelolanya, yang tidak lagi PT Persero, tetapi suatu Badan Hukum Publik, sama dengan badan hukum Pemerintahan dan badan hukum Bank Indonesia.
- Mekanisme Asuransi dan Kecakupan
Dalam mengejar ketertinggalan Indonesia, setelah UUD 45 diamendemen untuk menyediakan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, maka Indonesia memilih mekanisme asuransi sosial dalam pengumpulan (pool) dana. Mekanisme asuransi sosial ini merupakan pilihan yang paling tepat untuk Indonesia saat ini. Sayang sebagian pihak, termasuk sebagian kecil akademisi, tidak memahami utuh konsep asuransi sosial. Mekanisme pajak seperti yang diterapkan di Inggris, Itali, Spanyol, Malaysia dan Hong Kong belum layak di Indonesia karena pemilik NPWP—dus mungkin bayar pajak—baru sekitar 20 juta orang dari sekitar 110 juta angkatan kerja.
Mekanisme asuransi sosial mengharuskan jaminan yang akan diberikan dihitung secara benar untuk menghasilkan program yang ditetapkan. Hitungan para ahli sudah dilakukan yang menghasilkan besaran iuran Rp 25.500 per orang per bulan untuk penduduk miskin dan tidak mampu. Tetapi, yang bayar bukan penduduk itu. Pemerintah yang diwajibkan bayar untuk mereka. Besaran iuran tersebut adalah besaran untuk layanan di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah. Dus, masih ada aliran dana Pemerintah dan pemda ke fasilitas kesehatan tersebut. Iuran yang bebasis harga keekonomian, yang diselenggarakan fasilitas kesehatan swasta seharusnya sekitar Rp 50.000 per orang per bulan. Para ahli telah menghitung dan mengkonversi iuran tersebut dengan upah pekerja Indonesia dan menghasilkan kecukupan iuran minimal adalah 5% upah sebulan dengan batas upah untuk perhitungan iuran 3 (tiga) kali Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Besaran iuran yang diperhitungkan para ahli tersebut belum memperhitungkan koreksi rendahnya kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Besaran iuran tersebut baru memperhitungkan transfer (mekanisme asuransi) beban perusahaan dan perorangan kepada BPJS untuk memiliki daya beli dan daya tawar yang kuat. Besaran tersebut harus terus ditingkatkan untuk mengoreksi ketertinggalan Indonesia. Sebagai contoh, Pemerintah Muangtai membayar iuran per orang per bulan untuk semua penduduk di sektor informal sebesar Rp 80.000, jika dikurs ke Rupiah.
Apabila iuran ke BPJS sudah sampai harga keekonomian, maka dengan sendirinya maldistribusi dokter dan fasilitas kesehatan akan terkoreksi. Banyak pejabat dan tokoh bersikap naif dengan menyatakan bahwa ancama JKN adalah maldistribusi fasilitas kesehatan. Terjadinya maldistribusi fasilitas kesehatan yang memang kita alami sekarang adalah akibat sistem kesehatan sekarang yang berbasis mekanisme pasar. Dokter dan rumah sakit swasta tidak akan hidup di daerah yang daya beli masyarakat dan daya beli pemdanya rendah. Maka JKN akan mengoreksi hal itu dengan mewajibkan Pemerintah membayar iuran ke BPJS berbasis hitungan per orang per bulan penduduk yang ada di seluruh daerah. Maka pembayaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh Pemerintah ke BPJS merupakan suatu mekanisme aliran dana dari pusat ke daerah yang paling efektif. Karena penduduk yang dijamin ada di daerah, hak mereka dibayar oleh Pemerintah pusat. Jika mereka sakit, mereka akan berobat di daerah itu. Maka pemda dan investor swasta yang cerdik akan memanfaatkan peluang ini untuk membangun fasilitas kesehatan di daerah. Dengan sendirinya akan terjadi redistribusi tenaga dan fasilitas kesehatan.
- Belenggu dan paranoia keterbatasan fiskal
Sayangnya konsep JKN belum difahami banyak pengambil keputusan anggaran dan iuran JKN. Pemerintah di luar Kementrian Kesehatan masih terjebak pada belenggu dan paranoia fiskal. Bahkan dalam pertemuan di Komisi IX DPR, Wakil Menteri Keuangan dengan jelas menyatakan bahwa mengalokasikan 5% APBN untuk kesehatan sesuai perintah UU Kesehatan tidak mungkin. Ucapan Wamen tersebut merupkan cermin terbelenggunya pemikiran pembuat anggaran dan tidak fahamnya ketertinggalan Indonesia. Jika prilaku ini masih terus dipertahankan, maka besar harapan bangsa ini akan terus menjadi bangsa kuli yang diperdagangkan Pemerintah untuk menarik investor asing dengan gaji rendah dan jaminan sosial asal ada.
Ruang Fiskal Indonesia masih sangat besar. Rasio penerimaan pajak kita baru sekitar 13% PDB. Kebocoran dana pajak masih sering terdengar. Negara menengah lain sudah mencapai rasio pajak 18-20%. Setelah menyediakan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyatnya, rasio pajak Muangtai naik dari 13% menjadi sekitar 18%. Rakyat menyadari bahwa Pemerintah perduli dengannya. Negara maju mencapai rasio pajak 20-30%. Jika saja Pemerintah konsisten menggunakan penerimaan cukai rokok yang tahun 2012 mencapai Rp 77 Triliun untuk iuran jaminan kesehatan, sesungguhnya tidak ada masalah fiskal. Tetapi, Pemerintah hanya mengalokasikan sekitar Rp 20 Triliun untuk 86,4 juta penduduk (dengan iuran Rp 19.225 per orang per bulan seperti banayk diberitakan). Inggris, Taiwan dan Australia melakukan hal itu. Konsep cukai rokok adalah konsep denda bagi orang yang mengkonsumsi rokok yang membahayakan kesehatan. Maka seharusnya, penerimaan cukai rokok untuk mendanai kesehatan. Tetapi, di Indonesia, hasil cukai rokok bisa dibilang digunakan untuk mensubsidi BBM yang dinikmati kelas menengah keatas. Padahal, yang memasukan cukai rokok adalah 70% penduduk tersmiskan, yang memperkaya tiga orang terkaya Indonesia. Inilah paradoks Indonesia. Jadi, jelas sekali masih terjadi malpraktik anggaran di Indonesia. Anggaran Negara belum berpihak kepada rakyat kecil.
- Perilaku Buruk Sebagian Pengusaha dan Sebagian Pekerja
Sangat disayangkan bahwa Pemerintah masih sangat pelit untuk rakyat kecil, yang terkena racun rokok dan tidak dibantu biaya berobatnya. Padahal mereka penyumbang cukai rokok. Hasil penelititan Abdullah Ahsan dari Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa kelas menengah kebawah mengutamakan belanja rokok setelah belanja beras.
Gaya Tripartit Mempengaruhi Pejabat Tinggi Merusak Tatanan Negara dan Merendahkan Martabat Pekerja |
Bukan daging yang mencerdaskan atau pendidikan yang menambah pengetahuan. Pelitnya Pemerintah ternyata disambut oleh liciknya sebagian pengusaha yang meminta iuran JKN cukup 3%saja sampai batas maksimum upah Rp 2 juta. Lebih cilaka lagi, sebagian tokoh pekerja juga memalukan dan merendahkan martabat dirinya dengan meminta agar pekerja tidak ikut mengiur, karena selama ini mereka tidak mengiur. Iuran JKN yang dibayar pekerja, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta, adalah untuk dirinya, istri atau suaminya, dan sampa 3 orang anak. Istri/suami dan anak adalah pilihan pekerja. Memalukan dan sungguh merendahkan martabat pekerja jika untuk menjamin kesehatan anggota keluarganya, pekerja meminta majikan yang menanggung. Anggaplah majikan menangngung pekerjanya dan porsi iuran pekerja adalah tanggung jawab pekerja untuk anggota keluarganya. Tetapi besaran atau prosentase iuran tidak boleh dibedakan bagi pekerja yang sudah berkeluraga dan yang belum. Sebab status lajang hanya sementara. Disitulah solidaritas sosial diwujudkan.
Di seluruh dunia, umumnya iuran jaminan sosial dibayar bersama separuh-separuh antara pekerja dan pemberi kerja. Itulah wujud solidaritas sosial, wujud tanggung jawab bersama, dan wujud kepedulian keluarga. Di Singapura, iuran untuk jaminan kesehatan yang besarnya 6-8% ditanggung 50:50 antara pekerja dan pemberi kerja. Di Korea Selatan juga demikian, dengan iuran maksium dalam undang-undangnya 8% upah. Di Taiwan, besar iuran yang sekitar 5% gaji juga ditanggung bersama.
Kekeliruan penetapan iuran merupakan ancaman terbesar gagalnya JKN. Jika iuran dinegosiasi atau ditetapkan dengan melobi Menteri terkait atau menetapkan dengan mengikuti saja tuntutan pemberi kerja dan pekerja, maka JKN akan menjadi produk inferior. Pekerja akan sangat dirugikan, karena jika iuran tidak memadai, tidak ada dokter dan RS swasta yang mau melayani perserta. Jikapun ada, maka kemungkinan besara hanya dokter dan RS yang selama ini tidak laku dan tidak memberikan layanan yang bagus yang akan minta dikontrak oleh BPJS. Yang rugi adalah pekerja dan keluarganya. Banyak perusahaan yang selama ini sudah mengalokasikan satu bulan gaji untuk belanja kesehatan karyawannya. Satu bulan gaji sama dengan 1/12 atau sekitar 8% gaji. Jadi, bagi mereka iuran 6% pun sesungguhnya menguntungkan. Soal pembagian porsi pekerja dan pemberi kerja silahkan saja dirundingkan oleh lembaga bipartit atau tripartit. Tetapi, besaranya iuran bukan barang yang dirundingkan, tetapi dihitung kecukupannya.
- Berlian 100 Karat Sebagai Barang Karatan
Diharapkan pejabat Pemerintah bertanggung jawab dalam pengambilan keputusannya. Sejarah akan mencatat pejabat-pejabat yang memperjuangkan kualitas JKN baik dan pejabat-pejabat yang tidak perduli masa depan JKN dan masa depan bangsa. Indonesia menghadapi awan tebal dan hitam yang memblokir pandangan jauh pemimpin-pemimpinya. Akibatnya mereka tidak memiliki pandangan jauh ke depan (visi). Banyak yang terbelenggu pada sair-sair rutin ‘tidak ada anggaran atau tidak ada kapasitas fiskal”. Padahal anggaran adalah alat pencapaian visi-misi dan tujuan. Jika kita sepakat tujuan menjamin seluruh penduduk untuk mencegah pemiskinan karena sakit dan meningkatkan produktifitas, sebagaimana telah dilakukan Malaysia, Muangtai, Taiwan, Korea Selatan dan negara maju lainnya sejak puluhan tahun lalu, maka anggaran harus dicari. Mekanismenya sudah diatur dalam UU SJSN, yaitu mekanisme asuransi sosial—bukan dari APBN. Dana APBN hanya untuk mambatun iuran penduduk miskin dan tidak mampu, sebaiknya keluarga pekerja bukan penerima upah, atau yang sering dikenal dengan sektor informal. Dengan demikian Pemeirntah akan ditantang untuk mengurangi kemiskinan dan memperbanyak lapangan kerja di sektor formal. Semakin sedikit yang miskin dan semakin banyak lapangan kerja di sektor formal, semakin sedikit kewajiban Pemerintah membayar iuran. Dana untuk membuka lapangan kerja tersebut dapat diambil dari dana pekerja itu sendiri, yaitu dana Jaminan Sosial.
Begitulah dunia maju membangun negerinya. Dana pekerja dikumpulkan melalui sistem jaminan sosial. Dana yang terkumpul digunakan untuk investasi di dalam negeri dan imbal hasilnya akan kembali ke pekerja dengan tingkat yang jauh diatas imbal hasil deposito. Maka betul kata Faisal Basri, sistem jaminan sosial adalah darah segara pembangunan. Sayangnya, banyak pandangan para pejabat yang tertutup kabut tebal. Sistem Jaminan Sosial Nasional ditelantarkan 10 tahun, dan sampai kinipun belum tampak gegap gempitanya. Masalahnya, Jaminan Sosial yang berbasis iuran wajib (SJSN) yang di negara lain diperlakuan sebagai Berlian 100 Karat (sangat berharga), di Indonesia diperlakukan sebagai barang karatan. Tidak mendapat perhatian baik.
Tengok saja sosialisasi SJSN. Berapa dana yang dikucurkan Pemerintah dan calon BPJS (PT Askes dan PT Jamsostek)? Nyaris tak terdengar. Padahal, sosialisasi besar-besaran (pemasaran sosial) adalah investasi yang sangat efektif dan efisien. Apabila Pemerintah mangganggarkan Rp 1 Triliu untuk sosialisasi SJSN, sehingga SJSN difahami lebih dari Keluarga Berencana di jaman pak Harto, maka tiap tahun Dana Amanat (dana jaminan sosial) yang terkumpul dapat mencapai Rp 100 Triliun. Tiap tahun!! Suatu nilai yang cukup besar untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Jika kita mau JKN dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berhasil membangun bangsa, maka kita harus ubah mind set kita tentang Jaminan Sosial.
[1] Guru Besar Universitas Indonesia