Pagi di bumi Limboto. Mentari belum sepenggalan tingginya. Sambil menggendong Balita 3 tahun, Fatma Ibrahim, 61 tahun, bergegas ke Poskesdes Pantungo. Sang Balita yang merupakan cucunya, sempat merengek tidak mau ikut Fatma. Namun, Fatma membujuk sang cucu agar mau ikut ke Posyandu.
Hari ini, Rabu 7 Desember adalah hari yang sudah menjadi kewajiban para ibu desa Pantungo untuk membawa anak Balitanya ke Posyandu dan para ibu hamil memeriksakan kehamilannya. Berbagai ragam pikiran berkecamuk di benak Fatma. Sejak tadi malam, setelah dia mengunjungi para ibu dan ibu hamil untuk sekedar memberitahukan bahwa besok adalah hari penimbangan dan imunisasi anak serta pemeriksaan ibu hamil, Fatma bertanya-tanya dalam hati.
Ada apa gerangan besok??? Katanya akan ada tamu dari Jakarta yang akan melihat aktivitas Posyandu dan pemeriksaan kehamilan di Poskesdes Pantungo. Untuk apa urusannya tamu dari Jakarta itu datang ke Pantungo?? Kalaulah sekedar melihat apa yang kami lakukan dalam keseharian kami, semua yang kami kerjakan adalah rutinitas yang biasa kami jalani. Itulah yang menjadi pikiran Fatma. Apakah mereka datang untuk sekedar memuji kami?? Woow, jauh panggang dari api, pikir Fatma. Dia tidak pernah berpikiran seperti itu. Pujian dan sanjungan terhadap apa yang selama ini dikerjakan, nyaris tidak pernah ada. Meskipun ada, untuk apa??? Toh, saya akan tetap mengerjakan ini semuanya.
Kecamuk pikiran seperti itu membuncah di kepala Fatma.
Sesampainya di Poskesdes, sudah ada beberapa ibu dengan anak-anaknya. Beberapa anak TK dan PAUD, diantar guru dan pengasuhnya, telah meramaikan Poskesdes. Dengan cepat Fatma, dibantu 3 sejawat kader kesehatan lainnya; Asni Abbas, Rosita Makusa dan Mastin Puhi, mulai menata meja pendaftaran, mengatur kursi, dan menyiapkan timbangan. Semua dilakukan dengan tangkas dan cekatan.
Bagi “empat sekawan” kader kesehatan tersebut di atas, pekerjaan seperti ini sudah diakrabi selama bertahun-tahun. Tiada rasa lelah dan bosan yang menghinggapi mereka. Imbalan 20 ribu rupiah sebulan yang mereka peroleh sebagai kader kesehatan, bukanlah tujuan yang mereka inginkan. Berapalah besarnya uang tersebut. Untuk satu kali naik bentor saja, uang itu tandaslah sudah. Ada kenikmatan batin yang mereka peroleh. Demikian pengakuan “empat sekawan”.
Fatma Ibrahim, ibu rumah tangga yang bersuami seorang petani, sejak tahun 1980 menjadi kader kesehatan. Saat itu dinamakan kader Posyandu. “Sebelum jadi kader Posyandu, saya dilatih dulu di dinkes”, ujar Fatma. Ada 15 orang yang dilatih. Sampai sekarang hanya dia yang bertahan menekuni kerja sosial ini.
Awal menjadi kader kesehatan, tidak ada imbalan yang diperoleh Fatma. Terkadang uang pribadi terpakai untuk menyediakan makanan tambahan untuk para Balita yang selesai ditimbang. Bagi Fatma, hal itu tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk mengabdi.
Saat itu luas desa Pantungo tidak seperti sekarang ini. Pantungo sekarang adalah Pantungo yang sudah terpecah menjadi dua desa, yaitu Pantungo (desa induk) dan Lupoyo (desa pemekaran).
Luasnya desa dengan penduduk yang jarang adalah tantangan yang harus dihadapi Fatma. Sehari sebelum aktivitas Posyandu berlangsung, Fatma berkeliling dari rumah ke rumah, memberitahu dan mengingatkan jadual kegiatan Posyandu ke setiap ibu. Perjalanan keliling itu bagi Fatma dimaknai sebagai cara bersilaturahmi dengan para ibu di Pantungo. Itu cerita dulu, aku Fatma sambil termangu. Termangu mengenang kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Namun saat itu tak ada kata menyerah bagi Fatma.
Kini, segalanya jadi semakin mudah. “Torang tara pernah susah lagi sakarang”, ujar Fatma. Informasi dilakukan cukup dengan sms, atau melalui masjid. Ajakan untuk ke Posyandu disiarkan ke segenap rumah yang berada di sekitar masjid.
Ada upaya tertentu bagi Fatma, Asni, Mastin dan Rosita menghadapi para ibu yang enggan membawa anak ke Posyandu atau periksa kehamilan ke tenaga kesehatan. Caranya mirip dengan cara yang diterapkan para aktivis PDBK. Menggugah kesadaran. Para ibu diusik urat sadarnya bahwa “jika berat badan anak kurang akan memudahkan anak sakit, dan jika sakit maka biaya yang dikeluarkan lebih besar dan akan menimbulkan kerepotan”. Dengan mengeluarkan jurus seperti ini biasanya para ibu akan tergerak mendatangi Posyandu. Jika tidak sempat, dapat minta tolong ke tetangga atau kerabat lainnya.
Tugas sebagai kader kesehatan tidak hanya seputar mengajak para ibu ke Posyandu atau Poskesdes. Masih adanya warga yang belum punya jamban adalah salah satu tantangan tersendiri bagi si “empat sekawan” agar masyarakat jangan buang air besar sembarangan. Bagi mereka, membangkitkan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan menerapkan “sabar dan tekun” tampaknya mutlak tanpa kompromi. Ujian kesabaran ini akan tetap terus terjadi seiring berjalannya waktu.
Beberapa bulan terakhir ini “empat sekawan” menerima pemberitahuan dari Kepala Desa Pantungo (Rukia Pakaya)
seorang ibu pensiunan guru yang baru 2 tahun menjadi Kades; bahwa Gorontalo adalah salah satu kabupaten yang bermasalah dalam kesehatan.
Sewaktu kalakarya PDBK di Limboto, Rukia Pakaya turut hadir bahkan menyampaikan pendapat dan pertanyaan ke bapak penyaji berambut perak (maksudnya dr. Triono Soendoro, Staf Ahli Menteri Kesehatan). Adanya cap DBK inilah yang membuat Rukia dan “empat sekawan” merasa gerah. Bagi Rukia Pakaya dengan adanya cap Pantungo masih bermasalah dalam kesehatan menjadikan ybs harus bekerja ekstra keras menjalani amanah sebagai “ibunda” bagi seluruh rakyatnya.
Bagi Asni dan Mastin, menjadi kader sejak 1997; dan Rosita yang baru 6 tahun jadi kader; kenyataan ini makin melecut semangat untuk mendedikasikan kehidupan mereka di bidang kesehatan. Hal ini juga diungkapkan oleh Dra. Rabia Ayub (62 tahun), mantan pejabat eselon 3 Diknas Kota Gorontalo, bahwa ybs akan menghabiskan sisa usianya untuk pendidikan dan kesehatan, dua aspek penting kehidupan. Rabia mengisi hari-hari pensiunnya dengan melibatkan diri menjadi relawan dalam kegiatan sosial dan keagamaan di desa kelahirannya Pantungo.
Sisi kehidupan para perempuan Pantungo yang mendedikasikan kehidupannya di lorong kesehatan, sudah selayaknya kita angkat topi. Si Empat Sekawan (Fatma Ibrahim, Asni Abbas, Rosita Makusa, Mastin Puhi), Rabia Ayub relawan mantan pejabat diknas, Hestiawati Mustafa (bidan desa), Sri Fatmawati Hasan (ahli gizi), dan Linda Tolanda (juru immunisasi); adalah para perempuan Pantungo yang berhati singa, berkekuatan banteng ketaton menyusuri lorong pengabdian kesehatan tanpa henti. Dan dibalik semua itu, ada 3 perempuan Limboto yang dengan setia mendampingi para perempuan Pantungo. Mereka adalah Nur Albar (Ka Dinkes Kabupaten Gorontalo), Yudhi Abdullatif (Camat Telaga Biru), dan Widya Pratiwi Bachmid (Ka Puskesmas Tuladenggi Telaga Biru). Tampaknya di Gorontalo ini peranan kaum perempuan lebih menonjol dan lebih diberdayakan. Tidak salah jika Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib, menyatakan bahwa “jika segala urusan dipegang perempuan dipastikan akan hidup”.
Tanggal 22 Desember adalah hari Ibu. Tidak lama lagi. Bagi para perempuan Pantungo, hari Ibu adalah sama dengan hari lainnya. Namun bagi kita, 22 Desember adalah hari untuk kembali membuka ingatan atas pengorbanan para ibu yang berjuang dan berkorban untuk anak, keluarga, dan masyarakat.
Tidak terasa mentari semakin menunjukkan murkanya. Panas yang membara semakin menyurutkan para ibu datang ke Poskesdes. Tercatat 72 balita, dari 178 balita yang ada di Pantungo, yang datang ke Poskesdes dan 5 ibu hamil yang memeriksakan kehamilan.
Lambaian tangan Tim Peneliti PDBK Kabupaten Gorontalo (Supraptini dan Lelly Andayasari) mengakhiri kunjungan “orang Jakarta” di Pantungo. Di kejauhan tampak birunya air danau Limboto dalam terik matahari bulan Desember, dan tegaknya “menara Eifel” kota Limboto menantang segala masalah “centang parenangnya” kesehatan. Keperkasaan “menara Eifelnya Limboto” memberikan gambaran tidak mau kalahnya masyarakat Gorontalo membebaskan cap “daerah bermasalah kesehatan” di bumi tercinta mereka.
Oleh: Anorital (*)
(*): Peneliti Badan Litbangkes.