Jakarta, 21 Januari 2011
Di masa depan Puskesmas sebaiknya tidak hanya dibina oleh Dinkes Kab/kota terkait kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), tapi juga perlu dibina oleh RS Kab/kota terkait Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).
Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH saat memberikan keynote speech yang bertema “Reforming Primary Health Care In Indonesia” pada Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI) di Batu, Malang 21 Januari 2011.
Menurut Menkes, Puskesmas sebagai focal point Primary Health Care (PHC) dibawahnya terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu), Puskesmas Keliling (Pusling), Dokter Praktik dan Bidan Praktik. Di tingkat desa terdapat Polindes, Poskesdes, Posyandu, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Bina Keluarga Balita (BKB). Di tingkat supra-sistemnya terdapat Dinkes Kab/kota dan RS Kab/kota. Berkaitan dengan hal itu Menkes mengharapkan kepada dokter yang tergabung dalam PDK3MI dapat memberikan masukan dalam merevitalisasi PHC.
Masalah yang dihadapi dalam proses terkait PHC, antara lain setelah otonomi daerah, Puskesmas dinilai masih berat ke kuratif. Perlu diidentifikasi lagi apakah front line atau ujung tombak pelaksana public health yang tepat adalah di tingkat Puskesmas atau tingkat Poskesdes/Polindes. Di Thailand dan Malaysia posisinya di Klinik Desa. Selanjutnya, perlu dikaji lagi bagaimana remunerasi yang tepat untuk tenaga kesehatan. Apakah dalam bentuk gaji atau dengan model kontrak kinerja. Juga perlu dipikirkan struktur organisasi Puskesmas yang tanggap terhadap upaya public health, misalnya memisahkan UKP dan UKM.
Karena itu Menkes mengharapkan para dokter yang tergabung dalam PDK3MI memberikan masukan dalam melakukan reformasi PHC.
Reformasi PHC yang mengadopsi pendekatan WHO dalam the WHO Annual Report 2008 dengan judul: “Primary Health Care, Now More Than Ever”, terdiri empat pilar yaitu :
Reformasi pembiayaan kesehatan, pembiayaan pemerintah lebih diarahkan pada upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan pelayanan kesehatan bagi orang miskin.
Reformasi kebijakan kesehatan, kebijakan kesehatan harus berbasis fakta (evidence based public health policy)
Reformasi kepemimpinan kesehatan (kepemimpinan kesehatan harus bersifat inklusif, partisipatif, dan mampu menggerakkan lintas sektor melalui kompetensi advokasi)
Reformasi pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan dasar harus mengembangkan sistem yang kokoh dalam konteks puskesmas dengan jejaringnya serta dengan suprasistemnya (Dinkes Kab/kota, dan RS Kab/Kota).
Di masa mendatang PHC yang diinginkan adalah : Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan; pusat pemberdayaan masyarakat; pusat pelayanan kesehatan komprehensif di strata pertama dan (UKM dan UKP). Disamping itu Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dapat berjalan secara lintas sektor, Puskesmas sebagai pembina teknis, terdapat alokasi anggaran yang cukup untuk upaya kesehatan masyarakat (public goods), serta terdapat sistem yang jelas mengenai peran Puskesmas dan jejaringnya termasuk dengan Dinkes Kab/Kota, RS Kab/Kota.
PHC (Deklarasi Alma Ata tahun 1978) adalah kontak pertama individu, keluarga, atau masyarakat dengan sistem pelayanan kesehatan. Pengertian ini sesuai dengan definisi SKN 2009, yang menyatakan bahwa Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar dimana terjadi kontak pertama perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan sebagai proses awal pelayanan kesehatan langsung maupun pelayanan kesehatan penunjang, dengan mekanisme rujukan timbal-balik. Termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat darurat. Pelaku PHC adalah Pemerintah dan/atau Swasta. Di jajaran Pemerintah, PHC dilaksanakan oleh Puskesmas dan jejaringnya. Sedangkan di kalangan swasta, PHC dilaksanakan oleh dokter praktik, bidan praktik, dan bahkan oleh pengobat tradisional (Battra).
Menkes menegaskan, dalam mereformasi PHC hendaknya selalu memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku, baik yang terkait dengan kesehatan, keuangan, otonomi daerah, maupun lainnya. Dewasa ini, Indonesia mempunyai UU No 36 tahun 2010 tentang Kesehatan, UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari ketiga UU tersebut, titik berat otonomi berada di pemerintah Kab/kota, dan alokasi keuangan dari pemerintah pusat sudah diserahkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan sistem DAU, maka alokasi besaran anggaran kesehatan di APBD Kabupaten/Kota sangat bergantung kepada interaksi politik antara pihak eksekutif, yaitu Dinkes Kab/Kota, Bupati/Walikota dan pihak legislatif, yaitu DPRD.
Di samping itu dalam konteks posisi PHC juga harus memperhatikan SKN tahun 2009. Selanjutnya, dalam mendisain kegiatan juga harus memperhatikan indikator-indikator dalam Standar Pelayanan Minimal Kesehatan.
Sejalan dengan berlakunya UU Otonomi Daerah, Puskesmas tidak lagi menjalankan program pokok yang seragam. Berdasarkan Kepmenkes No.128/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, program Puskesmas terbagi dua, yakni program wajib dan program pengembangan. Program wajib terdiri dari enam program pokok (six basics), yakni promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, KIA dan KB, serta pengobatan dasar. Bila diperlukan penambahan Program Puskesmas, maka program tersebut disebut program pengembangan sesuai kebutuhan lokal atau lokal spesifik.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon : 021-52907416-9, faks : 52921669, Call Center : 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail