Saat ini, jumlah rumah sakit jiwa masih sangat sedikit, bahkan ada yang mulai melakukan metamorfosa ke pelayanan umum karena mengikuti keinginan pasar. Di samping itu, jumlah tenaga kesehatan jiwa masih kurang, dan orientasi masyarakat terhadap kesehatan jiwa juga masih sempit, ujar dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS, Dirjen Bina Upaya Kesehatan
Berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 2007, persentase gangguan jiwa mencapai 11,6 persen dari sekitar 19 juta penduduk yang berusia di atas 15 tahun. Hal ini menjadikan masalah kesehatan jiwa sebagai prioritas bagi Kementerian Kesehatan kerena merupakan tantangan yang besar dengan kompleksitas tinggi di berbagai lapisan dan aspek kehidupan.
Bertambahnya jumlah unit pelayanan kesehatan di berbagai kelas, secara umum berkonsekuensi pada kebutuhan SDM kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan gap antara dokter spesialis dengan kebutuhan, khususnya tenaga kesehatan jiwa dan psikiater kian melebar.
Berdasarkan survey yang dilakukan World Psychiatric Association (WPA) di 60 negara, terdapat tiga strategi untuk menurunkan gap tersebut, yaitu: Meningkatkan jumlah psikiater dan professional kesehatan jiwa yang terdistribusi secara merata; Meningkatkan keterlibatan penyedia layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang terlatih; dan Meningkatkan keterlibatan aktif orang yang terkena dampak gangguan jiwa, baik orang dengan masalah kesehatan (ODMK) secara langsung maupun keluarganya.
Dalam acara yang dihadiri sekitar 800 orang dokter spesialis dan psikiater dari seluruh Indonesia tersebut, dr. Supriyantoro menjelaskan bahwa saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan berbagai upaya untuk penanggulangan masalah kesehatan jiwa, yaitu: Pengendalian masalah pasung di Indonesia; Penguatan upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif di tingkat primary health care agar kasus-kasus di tingkat lebih lanjut dapat diminimalisasi; dan Pemetaan untuk pemerataan sumber daya kesehatan, termasuk tenaga kesehatan jiwa.
Berbagai program kesehatan sedang dijalankan Kemkes, guna menciptakan masyarakat yang berkesehatan jiwa, meliputi Pemberdayaan masyarakat; Penyelenggaraan hotline service number 500-454, untuk konsultasi gangguan kejiwaan; Program dispersi pecandu narkoba sesuai dengan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika dan PP No.25 tahun 2011 tentang wajib lapor bagi pecandu narkoba; Perhatian terhadap masalah etika dan perlindungan penderita gangguan jiwa Perhatian terhadap kelompok berisiko seperti Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKI-B), korban kekerasan, dan masyarakat di lokasi bencana.
Profesi kesehatan jiwa diharapkan dapat proaktif dalam mencari solusi untuk penanggulangan masalah kesehatan jiwa baik di institusi pelayanan maupun di komunitas, seperti meningkatkan jumlah psikiater dan pemerataan pendistribusiannya; dokter plus yang terlatih di bidang kesehatan jiwa; mendorong penyediaan layanan tersier spesialistik; mendidik masyarakat dalam mengurangi stigma negatif masyarakat tentang rumah sakit jiwa; serta mampu menghasilkan inovasi, rekomendasi profesi atau institusi pendidikan dalam menciptakan pedoman penanggulangan masalah kesehatan jiwa di Indonesia.