Perokok pemula cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan prevalensi perokok muda ini terkait dengan: masih murahnya harga rokok di Indonesia; mudahnya membeli rokok secara eceran; maraknya penjualan rokok di setiap tempat; dan masih diizinkannya menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Hingga saat ini, tantangan besar yang harus kita sikapi adalah peningkatan prevalensi merokok penduduk Indonesia dari 27% (1995) menjadi 36,3% (2013). Bahkan, data hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja sebagai petani/ nelayan/buruh menunjukkan proporsi terbesar dalam presentase perokok aktif setiap hari, yaitu sebesar 44,5%.
Demikian disampaikan Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, dalam sambutannya pada Puncak Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HHTS) tahun 2014 di Jakarta (2/6). Tema global peringatan World No Tobacco Day 2014 adalah Raise Taxes on Tobacco. Sedangkan tema nasional peringatan HTTS 2014 adalah “Naikan Cukai Rokok, Lindungi Generasi Bangsa”. Tema tersebut relevan dengan fokus menjadikan cukai rokok sebagai instrumen kebijakan dalam memperkuat pengendalian tembakau di Tanah Air.
“Berdasarkan Undang-undang No. 39 tahun 2007 tentang Cukai, batas maksimum cukai rokok yang diperbolehkan yaitu 57% dari harga jual eceran rokok. Sedangkan di tingkat global, standar cukai rokok adalah 65%”, ujar Menkes.
Dengan peningkatan cukai rokok, kita berharap tingkat konsumsi rokok akan menurun sehingga berdampak pada penurunan prevalensi perokok dan menurunnya kejadian penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan kanker.
Menkes menerangkan, dalam menyukseskan pengendalian tembakau, Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi, termasuk regulasi tentang cukai rokok. Sebagian dari regulasi ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Menkes optimis, pelaksanaan PP No.109/2012 yang intensif dan terintegrasi secara lintas sektor oleh jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah bersama masyarakat, akan memberi dampak positif pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Implementasi PP tersebut akan menurunkan dampak buruk konsumsi rokok dan tembakau pada kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat.
“Saya perlu menggarisbawahi bahwa PP No.109/2012 sama sekali tidak mengatur tentang larangan penanaman tembakau, melainkan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk pada kesehatan yang diakibatkan konsumsi tembakau dan konsumsi rokok”, tutur Menkes.
Terkait komitmen Pemerintah Daerah terhadap upaya pengendalian tembakau, hingga saat ini, tercatat sebanyak 127 Kabupaten/Kota di 32 provinsi di seluruh Indonesia yang telah memiliki peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menkes terus mengimbau kepada jajaran Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang belum, untuk segera melahirkan peraturan tentang KTR.
Di samping itu, pasal 31 UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah mengamanatkan tentang penggunaan dana pajak rokok daerah minimal 50% untuk bidang kesehatan yang dialokasikan ke daerah, mulai diberlakukan pada tahun 2014. Saat ini, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri telah menyusun Panduan Umum Penggunaan Pajak Rokok Dalam Bidang Kesehatan.
“Saya harap panduan tersebut dapat digunakan dalam perencanaan bidang kesehatan di Daerah, sehingga penggunaan pajak rokok bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesehatan”, tandas Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan alamat email kontak@depkes.go.id.