Jakarta, 9 November 2015
Dalam pengembangan kesehatan kerja, WHO telah menghasilkan pembentukan Strategi Global Kesehatan Kerja bagi semua. Strategi tersebut terdiri dari 10 tujuan strategi yang mendesak dan harus segera dilaksanakan oleh negara anggotanya, salah satu diantara tujuan tersebut “Development of Human Resources for Occupational Health“. Strategi ini adalah suatu rumusan upaya yang perlu dilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian dan penyakit akibat kerja yang terjadi di seluruh belahan dunia Sebagaimana diketahui dampak global yang terjadi tidak saja mengakibatkan penderitaan bagi para pekerja tapi juga berdampak terhadap perekonomian global yang sangat signifikan.
Data International Labor Organization (ILO) menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat 2,3 juta orang di dunia meninggal akibat kerja; Baik karena penyakit akibat kerja maupun kecelakaan. Angka tersebut didominasi oleh penyakit akibat kerja, yaitu 2,02 juta kasus meninggal.Sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia adalah masyarakat pekerja, oleh karena itu perlu peningkatan kesehatan dan keselamatan pada pekerja agar kesehatan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
ILO menyatakan bahwa Pneumoconiosis merupakan penyakit akibat kerja yang paling banyak diderita oleh pekerja. Di tahun 1999, WHO menyatakan bahwa dari 1 juta kematian pada pekerja, 5% diantaranya adalah akibat Pneumoconiosis. Berdasarkan data ILO tahun 2013, 30% hingga 50% pekerja di negara berkembang menderita Pneumoconiosis. Indonesia merupakan negara berkembang yang salah satu penopang ekonominya adalah sektor industri yaitu industri pertambangan.
Demikian sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA, dr Anung Sugihantono M.Kes pada acara ILO Classification Of Radiographs Of Pneumoconioses Workshop di Jakarta, Senin, (9/11).
Lebih lanjut, dr. Anung mengatakan kemampuan dan jumlah dokter saat ini, dalam pemeriksaan penunjang radiologi standar ILO pada diagnosis penyakit Pneumoconiosis masih sangat terbatas. Karena itulah, salah satu upaya peningkatan yang perlu dilaksanakan adalah kapasitas dokter dalam diagnosis Pneumoconiosis.
Workshop yang diselenggarakan atas kerjasama Kemenkes, International Labour Organization (ILO) dan Persatuan Dokter Okupasi Indonesia (PERDOKI) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dokter; Khususnya, dalam pemeriksaan atau diagnosispenunjang radiologi penyakit Pneumoconiosis berdasarkan klasifikasi ILO. Dengan ini, data Pneumoconiosis di Indonesia dapat kita perolehsehingga penemuan dini untuk upaya pencegahan pun akan terlaksana.
Banyak pekerja tambang di Indonesia yang terpapar oleh pajanan-pajanan yang dapat menimbulkan Pneumoconiosis. Pajanan tersebut di antaranya batu bara, mineral, silica dan asbestos. Penelitian menunjukkan, sekitar 9 persen penambang batu bara di Indonesia menderita Pneumoconiosis. Tak hanya industri pertambangan, Pneumoconiosis pun diderita oleh sejumlah kecil pekerja di pabrik semen.
Tidak adanya laporan jumlah penderita Pneumoconiosis di Indonesia, antara lain adalah karena belum terbentuknya kemampuan dokter untuk mendiagnosis Pneumoconiosis. Peralatan diagnosis pun belum memadai dan kesadaran masyarakat tentang bahaya Pneumoconiosis masih rendah.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.