Pendekatan keluarga penting diterapkan dalam upaya pencegahan dan deteksi dini penyakit kusta. Perhatian dan peran pasangan atau keluarga terdekat sangat bermanfaat dalam menemukenali tanda dan gejala awal penyakit kusta. Saat ini kita harapkan masyarakat dapat menerapkan upaya deteksi dini penyakit kusta berupa active case finding melalui pendekatan keluarga. Deteksi dini yang dilanjutkan dengan pengobatan sejak awal dapat mengurangi risiko kecacatan dan penghilangan stigma di masyarakat.
“Keluarga yang mengetahui latar belakang anggota keluarganya. Orang tua terhadap anaknya atau pasangan yang biasanya dapat mengenali tanda atau menemukan gejala kusta di bagian-bagian tubuh tertentu”, ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. H.M. Subuh, MPPM, saat memberikan paparan pada kegiatan Temu Media mengenai Hari Kusta Sedunia yang bertema “Kusta: Temukan Dini, Tidak Ada Cacat, Tidak Ada Stigma” di Kantor Kementerian Kesehatan di kawasan Rasuna Said, Jakarta Jumat (27/1).
Hingga saat ini, mash banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami apa itu penyakit kusta, sehingga stigma di masyarakat terhadap penyakit kusta masih ditemukan. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini menjadikan kusta masuk ke dalam kelompok penyakit tropis terabaikan (neglected tropical disease).
Kusta Masih Ada: Kenali dan Obati Segera
Kusta atau lepra bukanlah penyakit keturunan atau kutukan. Kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit menular/infeksi menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Bakteri tersebut dapat menyerang kulit dan saraf tepi, sehingga jika terlambat diobati dapat menimbulkan cacat permanen, Kusta dapat disembuhkan tanpa menimbulkan kecacatan jika cepat ditemukan dan cepat diobati.
“Kusta disebabkan oleh bakteri, maka dapat disembuhkan dengan pengobatan antibiotik”, kata dr. Subuh.
Penyakit kusta ini memang termasuk penyakit menular, namun paling sulit untuk menular karena hanya orang yang memiliki kontak erat, dekat dan dalam intensitas waktu yang tidak singkat yang biasanya berisiko tertular. Cara penularannya adalah bakteri tersebut masuk melalui percikan cairan pernafasan dan kemunculannya pun bergantung pada imunitas tubuh seseorang. Imunitas tersebut mempengaruhi lama masa inkubasi bahkan tipe penyakit kusta (kering atau basah).
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta, antara lain: kulit mengalami bercak putih yang lama kelamaan semakin melebar dan banyak, bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, kesemutan pada anggota badan atau raut muka muka berbenjol-benjol dan tegang, ada bagian tubuh mati rasa karena kerusakan saraf tepi. Gejala kusta sering kali tidak selalu tampak, justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama
“Bila ditemukan tanda atau gejala, jangan dibiarkan. Segera beri pengobatan agar jangan sampai berdampak pada kecacatan. Obat kusta dijamin dan diberikan tanpa dipungut biaya (gratis)”, tandas dr. Subuh.
Tingkat kecacatan yang bisa diakibatkan penyakit kusta, antara lain tingkat 0 (disembuhkan tanpa kecacatan); tingkat 1 (misalnya: bercak putih yang terasa kebas atau mati rasa atau muka dengan benjolan-benjolan); dan tingkat 2 (kecacatan bersifat permanen). Target Indonesia dalam menurunkan angka kecacatan tingkat 2 adalah menjadi < 1 / 1.000.000 penduduk di tahun 2020. “Angka kecacatan akibat kusta masih cukup tinggi yaitu 6,6 per 1.000.000 penduduk”, terang dr. Subuh. Kusta di Indonesia
Indonesia sebenarnya sudah mencapai target eliminasi kusta di tingkat nasional, yaitu angka prevalensi < 1 / 10.000 penduduk pada tahun 2000. Angka prevalensi kusta di Indonesia saat ini adalah 0,78 per 10.000 penduduk. Prestasi tersebut tetap harus dilanjutkan dengan pencapaian eliminasi kusta di tingkat provinsi. “Tahun 2015 lalu, Banten sukses mencapai eliminasi kusta di wilayahnya. Sedangkan di tahun 2016 seharusnya Jawa Timur dan Aceh tetapi saat ini sedang kita evaluasi dalam 3-4 bulan ke depan, kita akan cek sasaran inti semua lokusnya”, terang dr. Subuh. Terdapat beberapa provinsi di Indonesia yang belum mencapai status eliminasi yang ditandai angka prevalensi kusta di wilayahnya masih > 1 per 10.000 penduduk. Sebagian besar berada di wilayah Indonesia Timur yakni seluruh Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, serta Provinsi Kalimantan Utara dan satu provinsi di pulau Jawa yaitu Jawa Timur.
“Semoga kita bisa dapat sertifikat eliminasi kusta di Indonesia di tahun 2019”, kata dr. Subuh.
Menurut dr. Subuh, tantangan besar di samping telah ada eliminasi kusta, tetapi perkembangan kasus baru penyakit kusta ini cukup mengkhawatirkan.
“Adanya kasus baru kusta yang muncul di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, meskipun proporsinya tetap tidak mempengaruhi status eliminasi, ini menjadi perhatian kami”, tegas dr. Subuh.
Selain itu, tingginya kasus kusta pada anak menjadi tambahan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hal ini. Semakin tinggi proporsi ditemukannya kasus baru kusta pada anak < 15 tahun menandakan potensi penularan berupa kontak dekat (keluarganya dan lingkungannya) dan tingginya transmisi di suatu wilayah. Setiap tahunnya ditemukan kurang lebih 1500 kasus baru kusta pada anak-anak. “Makin muda seseorang terkena kusta, berarti kontaknya itu makin dekat”, kata dr. Subuh. Pengobatan sampai sembuh kepada para penyandang kusta, pendampingan keluarga/tenaga kesehatan agar pengobatan diberikan sampai selesai tanpa cacat, dan pemenuhan hak (seperti beribadah, pendidikan, bahkan menikah dan mendapatkan keturunan) perlu diperhatikan. Karena pada beberapa kasus, adanya stigma dan diskriminasi di masyarakat bahkan di kalangan tenaga kesehatan selain menambah beban penyandang kusta, juga menjadi hambatan keberhasilan upaya pengendalian penyakit kusta di Indonesia. “Selama stigma masih tinggi akan sulit bagi kita untuk mengeliminasi penyakit kusta. Stigma itu sangat erat kaitannya dengan ketidaktahuan. Kusta bukan turunan, bukan pula kutukan, kusta dapat disembuhkan”, imbuh dr. Subuh. Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, dan email kontak@depkes.go.id. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat drg. Oscar Primadi, MPH