Jakarta, 18 September 2018
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, Indonesia termasuk ke dalam 10 negara dengan jumlah kasus Campak terbesar di dunia. Dibandingkan negara-negara lainnya, Indonesia termasuk regional south east asia regional (SEAR) bersama regional Afrika merupakan dua regional terakhir dalam hal target pencapaian eliminasi Campak di tingkat global. Regional lainnya yaitu Amerika, Eropa, Pasifik Barat, dan Timur Tengah telah mencapai eliminasi Campak sejak tahun 2000 dan Rubella pada tahun 2009.
Sampai dengan Desember 2017, jumlah negara yang telah berhasil mengeliminasi Campak sebanyak 76 negara (39% dari total keseluruhan negara di dunia) dan mengeliminasi Rubella sebanyak 70 negara (36% dari total keseluruhan negara di dunia). Eliminasi artinya tidak ditemukan lagi daerah yang selalu melaporkan kasus campak dan rubella dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 12 bulan dan tidak terjadi penularan penyakit campak dan rubella (zero transmission).
Situasi Penyakit Campak dan Cacat Bawaan Akibat Rubella di Indonesia
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah kasus Campak dan Rubella yang ada di Indonesia sangat banyak dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Adapun jumlah total kasus suspek Campak-Rubella yang dilaporkan antara tahun 2014 s.d Juli 2018 tercatat sebanyak 57.056 kasus (8.964 positif Campak dan 5.737 positif Rubella). Lebih dari tiga per empat dari total kasus yang dilaporkan, baik Campak (89%) maupun Rubella (77%) diderita oleh anak usia di bawah 15 tahun.
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat mudah menular (ditularkan melalui batuk dan bersin). Gejala penyakit Campak adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau konjungtivitis yang dapat berujung pada komplikasi berupa pneumonia, diare, meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Ketika seseorang terkena Campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan penderita dapat tertular jika mereka belum memiliki kekebalan terhadap Campak. Kekebalan terbentuk jika telah diimunisasi atau pernah terinfeksi virus campak sebelumnya.
Komplikasi dari campak yang dapat menyebabkan kematian adalah Pneumonia (radang Paru) dan ensefalitis (radang otak). Sekitar 1 dari 20 penderita Campak akan mengalami komplikasi radang paru dan 1 dari 1.000 penderita akan mengalami komplikasi radang otak. Selain itu, komplikasi lain adalah infeksi telinga yang berujung tuli (1 dari 10 penderita), diare (1 dari 10 penderita) yang menyebabkan penderita butuh perawatan di RS.
Sementara itu, Rubella atau dikenal juga dengan istilah Campak Jerman adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan dengan gejala yang tidak spesifik (tidak jelas) dan juga mudah menular. Hal yang menjadi perhatian bidang kesehatan adalah efek teratogenik apabila virus Rubella menginfeksi anak yang berada dekat dengan wanita hamil, dan menularkan virus tersebut terutama pada masa awal kehamilan (pembentukan janin). Infeksi Rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan Congenital Rubella Syndrome (CRS) berupa ketulian, gangguan penglihatan bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung, bahkan otaknya bisa mengecil. Data dari 12 rumah sakit yang menjadi sentinel pemantauan kasus CRS selama lima tahun terakhir s.d Juli 2018 menemukan 1.660 kasus suspek CRS.
Penyakit Campak atau Rubella bisa menyerang siapa saja baik lelaki maupun perempuan. Hingga saat ini, belum ada satupun pengobatan yang ditemukan yang dapat mematikan virus Rubella yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Tidak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya menderita suatu penyakit atau mengalami kecacatan permanen seumur hidupnya. Untuk itu, imunisasi merupakan langkah pencegahan, sekaligus perlindungan bagi anak-anak dari penyakit berbahaya.
Tidak Hanya Berdampak pada Kesehatan, Namun Juga Ekonomi
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan apabila seseorang terkena Campak tanpa komplikasi lebih kurang memakan biaya 2,7 juta rupiah per kasusnya. Lain cerita jika seorang anak menderita Campak dengan komplikasi radang paru atau otak, biaya pengobatan minimal lebih kurang menghabiskan hampir 13 juta rupiah per kasus, di luar biaya hidup yang dibutuhkan saat penderita mendapatkan perawatan.
Sementara itu, pembiayaan minimal yang dibutuhkan untuk pengobatan seorang anak dengan CRS mencapai lebih dari 395 juta rupiah per orang untuk penanaman koklea di telinga, operasi jantung dan mata. Setelah itu tentu tetap dibutuhkan pembiayaan untuk perawatan kecacatan seumur hidupnya.
Di samping biaya pengobatan, tentu ada biaya yang harus dikeluarkan keluarga seperti biaya hidup selama perawatan, belum lagi kerugian yang ditimbulkan karena kehilangan waktu kerja. Hal yang paling memprihatinkan adalah kecacatan seumur hidup pada penderita CSR yang akan menjadi beban yang tidak kita harapkan.
Data studi cost benefit analysis yang dilakukan Prof. Soewarta Kosen (litbangkes, 2015) menyatakan bahwa kerugian makro CRS lebih kurang Rp 1,09 triliun. Cost per DALY (Disability-Adjusted Life Years) imunisasi MR bila dibandingkan dengan tidak diimunisasi mencapai Rp 26.598.238,-. Hal ini sangat tidak sebanding, bila kita melihat biaya yang dikeluarkan untuk kampanye dan program imunisasi MR hanya lebih kurang sebesar Rp. 29.000,- per anak.
Vaksinasi Mencegah Infeksi dan Komplikasi Penyakit Campak dan Rubella
Pada era tahun 60-an, dunia telah menemukan vaksin yang sangat efektif untuk mencegah penyakit Campak dan Rubella. Tiga dasawarsa berselang, hingga tahun 1996 tercatat sejumlah 83 negara telah menggunakan vaksin Campak dan Rubella dalam program imunisasi rutin di negaranya, dan meningkat menjadi 130 negara pada tahun 2009. Hingga saat ini, lebih dari 141 negara telah menggunakan vaksin Campak dan Rubella.
Sejak tahun 1982, Indonesia sudah melaksanakan pemberian imunisasi campak secara rutin untuk anak usia 9 bulan. Dalam kurun waktu 3 dasawarsa program imunisasi rutin campak ini berjalan, cakupan yang dicapai secara nasional sudah cukup tinggi namun tidak merata di seluruh wilayah sehingga masih ada daerah kantong yang berpotensi terjadi penularan yang masif atau kejadian luar biasa (contohnya KLB Campak di Asmat pada awal tahun 2018).
Di sisi lain, dengan mempertimbangkan situasi beban penyakit Rubella dan CRS di Indonesia, maka dilaksanakan introduksi (pengenalan) vaksin Rubella ke dalam program imunisasi rutin. Vaksin Rubella dikemas dalam bentuk kombinasi dengan vaksin Campak menjadi vaksin Measles Rubella (MR) dan mulai digunakan pada tahun 2017 lalu di 6 provinsi (pulau Jawa), dan saat ini mulai digunakan di 28 provinsi lainnya (luar pulau Jawa).
Berdasarkan hasil kajian terhadap situasi di Indonesia oleh Kemenkes bersama para ahli dari WHO dan akademisi dari beberapa Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada Oktober 2014 lalu, maka direkomendasikan agar dilakukan kampanye imunisasi MR dengan sasaran usia 9 bulan sampai dengan Imunisasi merupakan satu-satunya pencegahan yang paling efektif dan cost efektif. Tentu kita tidak ingin ada anak Indonesia yang harus menderita dan menjadi beban keluarga dan negara di masa depannya. Untuk itu, negara berkewajiban hadir untuk melindungi generasi penerus bangsa dari ancaman penyakit berbahaya yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi.
Fatwa MUI Memberi Kejelasan Bagi Masyarakat
MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 33 tahun 2018 yang menyatakan bahwa para ulama bersepakat untuk membolehkan (mubah) penggunaan vaksin Measles Rubella (MR) yang merupakan produk dari Serum Institute of India (SII) untuk program imunisasi saat ini. Keputusan ini didasarkan pada tiga hal, yakni memenuhi ketentuan dlarurat syar’iiyah, belum adanya alternatif vaksin yang halal dan suci, dan adanya keterangan ahli yang kompeten tentang bahaya yang bisa ditimbulkan. Namun, kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud tidak berlaku jika di kemudian hari ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.
Fatwa ini dapat menjadi pijakan sekaligus juga panduan bagi pemerintah di dalam pelaksanaan imunisasi MR juga rujukan bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat muslim untuk tidak ragu lagi mengikuti imunisasi MR dengan vaksin yang sudah disediakan pemerintah. Adanya Fatwa Nomor 33 tahun 2018 tersebut telah memberi kejelasan, sehingga tidak ada keraguan lagi di masyarakat untuk bisa memanfaatkan vaksin MR dalam program imunisasi yang sedang dilakukan saat ini sebagai ikhtiar untuk menghindarkan buah hati dari risiko terinfeksi penyakit Campak dan Rubella yang bisa berdampak pada kecacatan dan kematian.
Imunisasi sangat bermanfaat untuk menjauhkan kita dari mudarat (baca: penyakit berbahaya) yang bisa mengancam jiwa anak Indonesia, melindungi generasi agar tumbuh menjadi bangsa yang sehat, cerdas dan kuat, serta membawa maslahat untuk umat.
Imunisasi MR Massal di Pulau Jawa pada 2017 Berhasil Turunkan Kasus Campak dan Rubella
Pelaksanaan imunisasi MR massal ini merupakan fase kedua setelah fase kesatu imunisasi MR massal sukses dilaksanakan pada Agustus-September tahun 2017 lalu di 6 provinsi di Pulau Jawa dengan cakupan mencapai 100,98% melebihi target minimal yang diharapkan yakni 95%.
Cakupan imunisasi yang tinggi terbukti berhasil membawa dampak positif, yakni berupa penurunan kasus Campak dan Rubella di Pulau Jawa yang dilaporkan pasca pelaksanaan dibandingkan kurun waktu yang sama di tahun sebelumnya. Data Kemenkes pada Januari s.d Juli 2017 mencatat sebanyak 8.099 suspek Campak Rubella (2.535 positif Campak dan 1.549 positif Rubella). Apabila kita bandingkan dengan laporan kasus pasca pelaksanaan imunisasi massal di Pulau Jawa, laporan kasus mengalami penurunan menjadi 1.045 suspek Campak Rubella (38 positif Campak dan 176 positif Rubella).
Pelaksanaan Imunisasi MR di Luar Pulau Jawa
Secara nasional, sampai dengan tanggal 17 September 2018 rata-rata cakupan pemberian imunisasi MR mencapai 45,98% masih jauh di bawah target yang diharapkan per tanggal tersebut (83,98%). Hingga 17 September 2018, baru satu provinsi yang dapat mencapai, yaitu Papua Barat (89,25%).
Beberapa provinsi yang hingga saat ini capaian imunisasinya masih berada di bawah rata-rata nasional, antara lain: Aceh, Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (myg)
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM