Jakarta, 19 Maret 2019
Meskipun diagnosis dan pengobatan tuberkulosis gratis, pasien TBC menghadapi biaya transportasi, akomodasi, gizi, dan kehilangan penghasilan karena ketidakmampuan untuk bekerja. Beban keuangan yang tinggi dapat menyebabkan pasien tidak mendapatkan diagnosis, tidak memulai pengobatan, bahkan dapat berhenti pengobatan.
Kondisi tersebut akan berisiko tinggi menularkan penyakit ke orang lain dan juga dapat berkembang menjadi TB Multidrug Resistant (MDR).
Dampak total kerugian ekonomis akibat penyakit TBC dan TB MDR adalah sekitar 136,7 milyar per tahun. Orang yang menderita TBC dan TB MDR, diperkirakan akan kehilangan pendapatan sebesar 38% dan 70%.
Di Negara-negara dengan jumlah penderita TBC yang besar, seperti di Ethiopia, Indonesia, dan Kazakhstan, pasien yang kehilangan pekerjaan sebesar 26% pada kasus TB dan 53% pada TB MDR. Beban terbesar dari kerugian TBC adalah kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian dini.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi triple burden TBC, yakni insiden TBC, insiden TBC Resistant Obat (RO), dan TBC HIV.
Berdasarkan Global TB Report 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk insiden TBC dari lima negara, peringkat ke-7 untuk beban TBC RO dari 8 negara, dan peringkat ke-7 untuk beban TBC HIV dari 8 negara.
Situasi TBC di Indonesia cukup mengkhawatirkan, sebanyak 4.400 kasus TBC RO ternotifikasi, 52.929 TB anak, dan 7.729 TB HIV. Namun demikian 89% penderita TBC berhasil diobati.
Pemerintah Indonesia juga telah menyediakan fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan TBC. Sebanyak 360 RS Pemerintah dan Swasta, dan Balai Kesehatan Rujukan TBC RO, 2.304 Puskesmas satelit TBC RO, 9.997 Puskesmas, 2.671 RS Pemerintah dan Swasta dan Balai Kesehatan Paru, 11.220 lainnya dapat berupa dokter praktik, mandiri, dan klinik swasta.
Pemerintah juga menyediakan laboratorium penyedia diagnosis TBC. Sebanyak 7.326 Laboratorium Rujukan Mikroskopis, 963 Tes Cepat Molekuler, 21 Laboratorium Biakan TBC, 11 Laboratorium Uji Kepekaan TBC.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes mengatakan diharapkan tahun 2030 masalah TBC menurun secara signifikan 90 persen, sementara 2050 tidak ada kasus TBC.
“Artinya tidak ada kasus baru 1/1 juta. Caranya pertama harus active case finding dan diikuti dengan pengobatan, kedua bagaimana kita bisa memproteksi, mencegah terjadinya infeksi, ketiga bagaimana faktor risiko bisa kita mitigasi, dan keempat pengobatan. Intervensi program juga harus kuat, harus mempersiapkan Faskes secara menyeluruh dan komprehensif,” kata dr. Wiendra saat Temu Media terkait Hari TBC Sedunia, Selasa (19/3) di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id. (D2).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat
drg. Widyawati, MKM.